Rabu, 01 Agustus 2012

Resume 2 Perekonomian Indonesia


Perdagangan Internasional

 Perdagangan internasional adalah perdagangan yang dilakukan oleh penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain atas dasar kesepakatan bersama. Penduduk yang dimaksud dapat berupa antarperorangan (individu dengan individu), antara individu dengan pemerintah suatu negara atau pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain. Di banyak negara, perdagangan internasional menjadi salah satu faktor utama untuk meningkatkan GDP. Meskipun perdagangan internasional telah terjadi selama ribuan tahun (lihat Jalur Sutra, Amber Road), dampaknya terhadap kepentingan ekonomi, sosial, dan politik baru dirasakan beberapa abad belakangan. Perdagangan internasional pun turut mendorong Industrialisasi, kemajuan transportasi, globalisasi, dan kehadiran perusahaan multinasional.

Teori Perdagangan Internasional

Menurut Amir M.S., bila dibandingkan dengan pelaksanaan perdagangan di dalam negeri, perdagangan internasional sangatlah rumit dan kompleks. Kerumitan tersebut antara lain disebabkan karena adanya batas-batas politik dan kenegaraan yang dapat menghambat perdagangan, misalnya dengan adanya bea, tarif, atau quota barang impor.
Selain itu, kesulitan lainnya timbul karena adanya perbedaan budaya, bahasa, mata uang, taksiran dan timbangan, dan hukum dalam perdagangan.

Model Ricardian

Model Ricardian memfokuskan pada kelebihan komparatif dan mungkin merupakan konsep paling penting dalam teori pedagangan internasional. Dalam Sebuah model Ricardian, negara mengkhususkan dalam memproduksi apa yang mereka paling baik produksi. Tidak seperti model lainnya, rangka kerja model ini memprediksi dimana negara-negara akan menjadi spesialis secara penuh dibandingkan memproduksi bermacam barang komoditas. Juga, model Ricardian tidak secara langsung memasukan faktor pendukung, seperti jumlah relatif dari buruh dan modal dalam negara.

Model Heckscher-Ohlin

Model Heckscgher-Ohlin dibuat sebagai alternatif dari model Ricardian dan dasar kelebihan komparatif. Mengesampingkan kompleksitasnya yang jauh lebih rumit model ini tidak membuktikan prediksi yang lebih akurat. Bagaimanapun, dari sebuah titik pandangan teoritis model tersebut tidak memberikan solusi yang elegan dengan memakai mekanisme harga neoklasikal kedalam teori perdagangan internasional.
Teori ini berpendapat bahwa pola dari perdagangan internasional ditentukan oleh perbedaan dalam faktor pendukung. Model ini memperkirakan kalau negara-negara akan mengekspor barang yang membuat penggunaan intensif dari faktor pemenuh kebutuhan dan akan mengimpor barang yang akan menggunakan faktor lokal yang langka secara intensif. Masalah empiris dengan model H-o, dikenal sebagai Pradoks Leotief, yang dibuka dalam uji empiris oleh Wassily Leontief yang menemukan bahwa Amerika Serikat lebih cenderung untuk mengekspor barang buruh intensif dibanding memiliki kecukupan modal dan sebagainya.

Faktor Spesifik

Dalam model ini, mobilitas buruh antara industri satu dan yang lain sangatlah mungkin ketika modal tidak bergerak antar industri pada satu masa pendek. Faktor spesifik merujuk ke pemberian yaitu dalam faktor spesifik jangka pendek dari produksi, seperti modal fisik, tidak secara mudah dipindahkan antar industri. Teori mensugestikan jika ada peningkatan dalam harga sebuah barang, pemilik dari faktor produksi spesifik ke barang tersebut akan untuk pada term sebenarnya. Sebagai tambahan, pemilik dari faktor produksi spesifik berlawanan (seperti buruh dan modal) cenderung memiliki agenda bertolak belakang ketika melobi untuk pengendalian atas imigrasi buruh. Hubungan sebaliknya, kedua pemilik keuntungan bagi pemodal dan buruh dalam kenyataan membentuk sebuah peningkatan dalam pemenuhan modal. Model ini ideal untuk industri tertentu. Model ini cocok untuk memahami distribusi pendapatan tetapi tidak untuk menentukan pola pedagangan.

Manfaat perdagangan internasional

Menurut Sadono Sukirno, manfaat perdagangan internasional adalah sebagai berikut.
§  Memperoleh barang yang tidak dapat diproduksi di negeri sendiri
Banyak faktor-faktor yang memengaruhi perbedaan hasil produksi di setiap negara. Faktor-faktor tersebut di antaranya : Kondisi geografi, iklim, tingkat penguasaan iptek dan lain-lain. Dengan adanya perdagangan internasional, setiap negara mampu memenuhi kebutuhan yang tidak diproduksi sendiri.
§  Memperoleh keuntungan dari spesialisasi
Sebab utama kegiatan perdagangan luar negeri adalah untuk memperoleh keuntungan yang diwujudkan oleh spesialisasi. Walaupun suatu negara dapat memproduksi suatu barang yang sama jenisnya dengan yang diproduksi oleh negara lain, tapi ada kalanya lebih baik apabila negara tersebut mengimpor barang tersebut dari luar negeri.
§  Memperluas pasar dan menambah keuntungan
Terkadang, para pengusaha tidak menjalankan mesin-mesinnya (alat produksinya) dengan maksimal karena mereka khawatir akan terjadi kelebihan produksi, yang mengakibatkan turunnyaharga produk mereka. Dengan adanya perdagangan internasional, pengusaha dapat menjalankan mesin-mesinnya secara maksimal, dan menjual kelebihan produk tersebut keluar negeri.
§  Transfer teknologi modern
Perdagangan luar negeri memungkinkan suatu negara untuk mempelajari teknik produksi yang lebih efesien dan cara-cara manajemen yang lebih modern.

Faktor pendorong

Banyak faktor yang mendorong suatu negara melakukan perdagangan internasional, di antaranya sebagai berikut :
  • Untuk memenuhi kebutuhan barang dan jasa dalam negeri
  • Keinginan memperoleh keuntungan dan meningkatkan pendapatan negara
  • Adanya perbedaan kemampuan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam mengolah sumber daya ekonomi
  • Adanya kelebihan produk dalam negeri sehingga perlu pasar baru untuk menjual produk tersebut.
  • Adanya perbedaan keadaan seperti sumber daya alam, iklim, tenaga kerja, budaya,dan jumlah penduduk yang menyebabkan adanya perbedaan hasil produksi dan adanya keterbatasanproduksi.
  • Adanya kesamaan selera terhadap suatu barang.
  • Keinginan membuka kerja sama, hubungan politik dan dukungan dari negara lain.
  • Terjadinya era globalisasi sehingga tidak satu negara pun di dunia dapat hidup sendiri.
. Perdagangan internasional juga terkait dengan pertahanan suatu negara. Setiap negaratentu membutuhkan senjata untuk mempertahankan wilayahnya. Padahal, tidak semua negaramampu memproduksi senjata. Maka diperlukan impor senjata. Untuk mencegah perdagangan barang-barang yang membahayakan, diperlukan kerjasama internasional. Barang yang membahayakan tersebut misalnya senjata gelap, obat-obatanterlarang, hewan langka, ternak yang membawa penyakit menular, dsb. Untuk kepentinganinilah pemerintah semua negara memiliki bea cukai. Instansi ini dibentuk pemerintahsuatu negara untuk memeriksa barang-barang dan bagasi ketika memasuki suatu negara.Pemeriksaan ini diperlukan untuk melihat apakah pajaknya telah dibayar. Pemeriksaan jugauntuk mengecek barang-barang tersebut barang selundupan ataupun barang terlarang atautidak. Cara yang digunakan dalam pemeriksaan antara lain dengan melihat dokumen barang,menggunakan detektor barang berbahaya, atau menggunakan anjing pelacak.

Peraturan/Regulasi Perdagangan Internasional

Umumnya perdagangan diregulasikan melalui perjanjian bilatera antara dua negara. Selama berabad-abad dibawah kepercayaan dalam Merkantilisme kebanyakan negara memiliki tarif tinggi dan banyak pembatasan dalam perdagangan internasional. pada abad ke 19, terutama di Britania, ada kepercayaan akan perdagangan bebas menjadi yang terpenting dan pandangan ini mendominasi pemikiran di antaranegara barat untuk beberapa waktu sejak itu dimana hal tersebut membawa mereka ke kemunduran besar Britania. Pada tahun-tahun sejak Perang Dunia II, perjanjianmultilateral kontroversial seperti GATT dab WTO memberikan usaha untuk membuat regulasi lobal dalam perdagangan internasional. Kesepakatan perdagangan tersebut kadang-kadang berujung pada protes dan ketidakpuasan dengan klaim dari perdagangan yang tidak adil yang tidak menguntungkan secara mutual.
Perdagangan bebas biasanya didukung dengan kuat oleh sebagian besar negara yang berekonomi kuat, walaupun mereka kadang-kadang melakukan proteksi selektif untuk industri-industri yang penting secara strategis seperti proteksi tarif untuk agrikultur oleh Amerika Serikat dan Eropa. Belanda dan Inggris Raya keduanya mendukung penuh perdagangan bebas dimana mereka secara ekonomis dominan, sekarang Amerika Serikat, Inggris, Australia dan Jepang merupakan pendukung terbesarnya. Bagaimanapun, banyak negara lain (seperti India, Rusia, dan Tiongkok) menjadi pendukung perdagangan bebas karena telah menjadi kuat secara ekonomi. Karena tingkat tarif turun ada juga keinginan untuk menegosiasikan usaha non tarif, termasuk investasi luar negri langsung, pembelian, dan fasilitasi perdagangan. Wujud lain dari biaya transaksi dihubungkan dnegan perdagangan pertemuan dan prosedur cukai.
Umumnya kepentingan agrikultur biasanya dalam koridor dari perdagangan bebas dan sektor manufaktur seringnya didukung oleh proteksi. Ini telah berubah pada beberapa tahun terakhir, bagaimanapun. Faktanya, lobi agrikultur, khususnya di Amerika Serikat, Eropa dan Jepang, merupakan penanggung jawab utama untuk peraturan tertentu pada perjanjian internasional besar yang memungkinkan proteksi lebih dalam agrikultur dibandingkan kebanyakan barang dan jasa lainnya.
Regulasi dari perdagangan internasional diselesaikan melalui World Trade Organization pada level global, dan melalui beberapa kesepakatan regional seperti MerCOSUR di Amerika Selatan,NAFTA antara Amerika Serikat, Kanada dan Meksiko, dan Uni Eropa anatara 27 negara mandiri. Pertemuan Buenos Aires tahun 2005 membicarakan pembuatan dari Free Trade Area of America(FTAA) gagal total karena penolakan dari populasi negara-negara Amerika Latin. 

Posisi Utang Luar Negeri Indonesia

Sejak krisis ekonomi tahun 1997, Indonesia terus menerus dibelit oleh utang. Kurang lebih separuh dari anggaran negaranya adalah untuk pembayaran utang.

Jumlah dan asal utang Indonesia

Utang luar negeri Indonesia lebih didominasi oleh utang swasta. Berdasarkan data di Bank Indonesia, posisi utang luar negeri pada Maret 2006 tercatat US$ 134 miliar, pada Juni 2006 tercatat US$ 129 miliar dan Desember 2006 tercatat US$ 125,25 miliar. Sedangkan untuk utang swasta tercatat meningkat dari US$ 50,05 miliar pada September 2006 menjadi US$ 51,13 miliar pada Desember 2006.[1]
Negara-negara donor bagi Indonesia adalah:
1.     Jepang merupakan kreditur terbesar dengan USD 15,58 miliar.
2.     Bank Pembangunan Asia (ADB) sebesar USS 9,106 miliar
3.     Bank Dunia (World Bank) sebesar USD 8,103 miliar.
4.     Jerman dengan USD 3,809 miliar, Amerika Serikat USD 3,545 miliar
5.     Pihak lain, baik bilateral maupun multilateral sebesar USD 16,388 miliar.

Pembayaran utang

Utang luar negeri pemerintah memakan porsi anggaran negara (APBN) yang terbesar dalam satu dekade terakhir. Jumlah pembayaran pokok dan bunga utang hampir dua kali lipat anggaran pembangunan, dan memakan lebih dari separuh penerimaan pajak. Pembayaran cicilan utang sudah mengambil porsi 52% dari total penerimaan pajak yang dibayarkan rakyat sebesar Rp 219,4 triliun.[2] Jumlah utang negara Indonesia kepada sejumlah negara asing (negara donor)di luar negeri pada posisi finansial 2006, mengalami penurunan sejak 2004 lalu sehingga utang luar negeri Indonesia kini 'tinggal' USD 125.258 juta atau sekitar Rp1250 triliun lebih.
Pada tahun 2006, pemerintah Indonesia melakukan pelunasan utang kepada IMF. Pelunasan sebesar 3,181,742,918 dolar AS merupakan sisa pinjaman yang seharusnya jatuh tempo pada akhir 2010. Ada tiga alasan yang dikemukakan atas pembayaran utang tersebut, adalah meningkatnya suku bunga pinjaman IMF sejak kuartal ketiga 2005 dari 4,3 persen menjadi 4,58 persen; kemampuan Bank Indonesia (BI) membayar cicilan utang kepada IMF; dan masalah cadangan devisa dan kemampuan kita (Indonesia) untuk menciptakan ketahanan.

Angka kemiskinan dan pengangguran

Sejak krisis, angka kemiskinan dan pengangguran masih tinggi. Berdasar data Badan Pusat Statistik Nasional Indonesia (BPS) bahwa 17,7 persen atau 39 juta penduduk Indonesia tergolong kategori penduduk miskin. Pengangguran sebanyak 10,4 persen. Di antara 100 juta angkatan kerja menganggur, 10,5 juta pengangguran terbuka.

Perbaikan ekonomi makro

Adanya perbaikan ekonomi makro ditandai dengan:
§  Rendahnya angka inflasi pada September 2006 yang hanya mencapai 0,38 persen yang membuat ekspektasi inflasi tahun 2006 kembali satu digit dibawah 8 persen.
§  Pembayaran utang yang berimbang (balance of payment) yang membaik
§  Nilai tukar rupiah yang cukup stabil, yaitu sebesar Rp.9.200 per USD.
Angka-angka tersebut cukup menjanjikan bagi peningkatan perekonomian.

Liputan6.com, Jakarta: Total utang Indonesia hingga Maret 2012 mencapai Rp 1.859,43 triliun, naik Rp 55,94 triliun dari posisi di akhir 2011 yang nilainya Rp 1.803,49 triliun. Secara rasio terhadap PDB, utang pemerintah berada di level 25,7 persen pada Maret tahun ini.

Jika dihitung dengan denominasi dolar Amerika Serikat, jumlah utang pemerintah pada Maret silam mencapai US$ 202,55 miliar. Jumlah ini naik dari posisi di akhir 2011 yang mencapai US$ 198,89 miliar. Demikian data Ditjen Pengelolaan Utang Kemenkeu, Rabu (25/4).
 
Utang pemerintah tersebut terdiri dari pinjaman Rp 612,77 triliun dan surat berharga US$ 1.246 triliun. Jika menggunakan PDB Indonesia yang sebesar Rp 7.226 triliun, maka rasio utang Indonesia per Maret tahun ini sebesar 25,7 persen. 
Sementara rincian pinjaman yang diperoleh pemerintah pusat hingga akhir Maret 2012 adalah:
  • Bilateral: Rp 370,42 triliun
  • Multilateral: Rp 25,36 triliun
  • Komersial: 215,44 triliun
  • Supplier: Rp 450 miliar
  • Pinjaman dalam negeri Rp 1,11 triliun
Sementara total surat utang yang telah diterbitkan pemerintah sampai Maret 2012 mencapai 1.246,66 triliun. Naik dibandingkan posisi di akhir 2011 yang sebesar Rp 1.859,43 triliun

Resume Perekonomian Indonesia


DANA ALOKASI KHUSUS dan UMUM
Dana Alokasi Khusus (DAK), adalah alokasi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara kepada provinsi/kabupaten/kota tertentu dengan tujuan untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan Pemerintahan Daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.
DAK termasuk Dana Perimbangan, di samping Dana Alokasi Umum (DAU)
DASAR HUKUM DAK
1. UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang “Pemerintahan Daerah.”
2. UndangUndang Nomor 33 Tahun 2004 tentang “Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.”
3. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang ”Dana
Perimbangan.”
4. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tentang ”Penetapan Alokasi dan
Pedoman Umum DAK.”
5. Peraturan Menteri Teknis/Kepala Lembaga terkait tentang ”Petunjuk
Teknis DAK masingmasing bidang.”
6. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 2009 tentang
”Pedoman Pengelolaan Keuangan Dana Alokasi Khusus Di Daerah. “
7. Surat Edaran Bersama (SEB) Menteri Negara PPN/Kepala Bappenas No.
0239/M.PPN/11/2008, Menteri Keuangan No. SE 1722/MK 07/2008, dan
Menteri Dalam Negeri No. 900/3556/SJ tentang “Petunjuk Pelaksanaan
Pemantauan Teknis Pelaksanaan Evaluasi DAK ”

4 permasalahan dak selama ini :
1) Masih adanya kekurang-tepatan pemahaman tentang konsep
DAK baik di Pusat maupun di daerah;
2) Masih relatif kecilnya pagu nasional DAK dibandingkan dengan
kebutuhan;
3) Batasan penggunaan DAK sesuai peraturan perundangan yang
ada masih menekankan pada kegiatan fisik, sehingga kurang
dapat mengakomodasi kebutuhan
4) Masih terbatasnya kapasitas perencanaan DAK yang berbasis
kinerja, serta selaras dan terpadu dengan perencanaan sektoral
nasional;
5) Masih rendahnya akurasi data teknis yang diperlukan untuk
perencanaan dan alokasi DAK;
6) Formula alokasi DAK yang ada belum sepenuhnya dapat
kesesuaian antara nasional

Dana Alokasi Umum (DAU) adalah sejumlah dana yang dialokasikan kepada setiap Daerah Otonom (provinsi/kabupaten/kota) di Indonesia setiap tahunnya sebagai dana pembangunan. DAU merupakan salah satu komponen belanja pada APBN, dan menjadi salah satu komponen pendapatan pada APBD. Tujuan DAU adalah sebagai pemerataan kemampuan keuangan antardaerah untuk mendanai kebutuhan Daerah Otonom dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
Dana Alokasi Umum terdiri dari:
  1. Dana Alokasi Umum untuk Daerah Provinsi
  2. Dana Alokasi Umum untuk Daerah Kabupaten/Kota
Jumlah Dana Alokasi Umum setiap tahun ditentukan berdasarkan Keputusan Presiden. Setiap provinsi/kabupaten/kota menerima DAU dengan besaran yang tidak sama, dan ini diatur secara mendetail dalam Peraturan Pemerintah. Besaran DAU dihitung menggunakan rumus/formulasi statistik yang kompleks, antara lain dengan variabel jumlah penduduk dan luas wilayah yang ada di setiap masing-masing wilayah/daerah.

Kutukan Sumber Daya Alam dan Perekonomian Indonesia

Natural resource curse adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan paradox yang dihadapi negara yang memiliki sumber daya alam (natural resources) melimpah (terutama yang tidak terbarukan atau non-renewable resources). Namun, dari segi tingkat pertumbuhan dan pembangunan ekonomi negara tersebut cenderung lebih rendah, jika dibandingkan dengan negara lain yang justru tidak memiliki sumber daya alam. Hal ini umumnya terjadi di negara-negara berkembang, seperti di negara-negara miskin di benua Afrika dan Amerika Latin. Misalnya, kasus yang dialami Nigeria yang memiliki kekayaan sumber daya alam berupa minyak bumi, Republik Kongo yang memiliki sumber daya alam berupa intan, dan Pantai Gading yang memiliki sumber daya alam berupa coklat. Umumnya, Negara-negara berkembang tersebut mengeksploitasi sumber daya alamnya secara intensif dan menggantungkan sumber pendapatan per kapitanya dari ekstraksi sumber daya alam tersebut. Kegiatan ekstraktif tersebut biasanya tidak melibatkan penciptaan nilai tambah (value added) yang besar karena hanya dilakukan sebatas mengekspor sumber daya alam sebagai bahan baku (raw materials). Selain itu, kegiatan ekstraktif dan eksploitasi secara berlebihan akan mengancam keberlanjutan dari pembangunan ekonomi karena cepat atau lambat sumber daya alam itu bisa habis sama sekali (depletable resources).
Lalu, timbul pertanyaan apakah Indonesia sudah mengalami natural resource curse. Pertanyaan ini timbul karena pada kenyataannya walaupun Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah, namun kemiskinan dan kesenjangan masih terjadi di berbagai pelosok nusantara. Bahkan, di beberapa provinsi yang kaya sumber daya alam yang memiliki nilai ekonomi tinggi, masih banyak masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan. Salah satu contoh kasus yang paling banyak disoroti adalah penambangan Freeport di Timika, Papua. Walaupun eksploitasi sumber daya mineral oleh PT Freeport sudah berlangsung lama, secara umum pembangunan di provinsi Papua masih cukup tertinggal daripada provinsi lainnya di Indonesia.
Sebagian pihak meyakini bahwa Indonesia telah mengalami apa yang disebut sebagai natural resource curse. Kasus Freeport di provinsi Papua merupakan salah satu contoh kasus yang mendukung opini ini. Selain Papua, banyak provinsi lain yang mengalami hal yang sama. Sebagai contoh lain adalah kasus penambangan timah di Pulau Belitung. Eksploitasi secara intensif pada sumber daya timah yang ada di Belitung kurang dapat memberikan kontribusi besar pada pembangunan di daerah, khususnya yang terkait dengan pembangunan manusia (human development). Selain itu, kesenjangan di daerah-daerah eksploitasi pertambangan cukup signifikan sehingga kontribusi sektor ekstraktif terhadap kesejahteraan penduduk menjadi semakin dipertanyakan. Maka dari itu, kerap timbul pandangan negatif terhadap eksploitasi sumber daya mineral oleh perusahaan milik asing yang tak ubahnya seperti pemiskinan
Sektor ekstraktif tidak selalu berkaitan dengan sektor pertambangan dan penggalian. Sektor ektraktif juga mencakup sektor pertanian, perkebunan, dan kehutanan karena sektor ini juga tidak melibatkan proses penambahan value added. Sektor perkebunan kelapa sawit yang saat ini berkembang pesat di Indonesia salah satunya. Indonesia selama ini terkesan hanya berfokus mengekspor produk berupa crude palm oil (CPO) dan kurang mendorong pengolahan lebih lanjut dari hasil perkebunan kelapa sawit menjadi produk olahan siap pakai. Fakta ini membentuk asumsi bahwa di Indonesia, sektor ekstraktif memberikan kontribusi terbesar bagi perekonomian nasional. Sebagian pihak pun menilai bahwa sektor ekstraktif membuat proses transformasi terkait dengan industrialisasi dalam perekonomian di Indonesia menjadi terhambat dan kurang berkembang.
Sebagian orang percaya bahwa Indonesia belum mengalami apa yang dinamakan sebagai Dutch disease. Mengapa demikian? Hal ini dikarenakan sektor industri manufaktur di Indonesia masih menjadi sektor yang menyumbang share yang paling besar dalam pendapatan domestik bruto (PDB) di Indonesia (lihat grafik di bawah ini). Ini membuktikan bahwa industrialisasi di Indonesia masih terus berlangsung. Hal ini dapat dilihat di grafik 2 yang menunjukkan bahwa pertumbuhan pendapatan per sektor dari sektor ekstraktif jauh lebih rendah dibandingkan dengan sektor lainnya. Jadi, apakah Indonesia sudah mengalami natural resource curse atau tidak masih menjadi bahan perdebatan.


OTONOMI DAERAH BANTEN

Hampir satu dasawarsa pelaksanaan otonomi daerah di Banten, tetapi provinsi ini masih menyajikan wajah yang kontras. Di tengah deru mesin ekonomi industri di utara wilayah, tertumpuk ketimpangan di bagian selatan.
Apakah yang terlintas dalam benak Anda tatkala mengasosiasikan nama Banten? Keraton Banten Lama-Surosowan, suku Baduy, atau kawasan gersang tempat pabrik besar? Dalam bukunya, Potret Banten (2005), Ace Suhaedi Madsupi menuliskan gambaran miris: ”Persepsi orang luar terhadap Banten dan orang Banten adalah tradisional, kasar, miskin, dan bodoh.”
Ditambahkannya, meski sebagian wilayah Banten berkembang dengan infrastruktur metropolitan, kenyataannya tidak mampu diakses bagian terbesar warga Banten. Rakyat Banten, khususnya warga asli, masih menjadi penonton, terpinggir di tanah kelahirannya karena ketidakmampuan ekonomi dan ketimpangan akses kekuasaan.
Sosial ekonomi Banten yang digambarkan dalam buku itu empat tahun lalu boleh jadi sudah berubah sebagian kini. Perubahan peta penguasaan politik lokal, banyaknya investasi baru, dan perbaikan sarana sosial bisa jadi menyiratkan gambaran yang kian positif dari tahun ke tahun. Lihat saja pertumbuhan ekonomi kawasan ini yang mencapai 5,8 persen, relatif lebih tinggi daripada pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Pengeluaran per kapita wilayah ini juga mengindikasikan kian banyaknya kelompok masyarakat berpenghasilan menengah dari 2004 hingga 2008.
Tanpa mengabaikan inflasi tahunan, bandingkan produk domestik regional bruto (PDRB) per kapita, berdasarkan harga berlaku, yang terus meningkat, mencapai Rp 12,8 juta (2008) dibandingkan Rp 11,4 juta (2007), Rp 10,6 juta (2006), dan Rp 9,4 juta (2005).
Hasil jajak pendapat melalui telepon yang dilakukan Litbang Kompas juga mencerminkan apresiasi atas berbagai kemajuan yang dirasakan masyarakat. Kesempatan untuk menempuh pendidikan, memperoleh layanan kesehatan, dan kelancaran transportasi adalah beberapa pelayanan yang oleh sekitar tiga perempat bagian responden dinilai makin baik dan tetap baik. Sebaliknya, kondisi jalan raya dan fasilitas umum adalah hal yang paling banyak memperoleh penilaian tetap buruk dan makin buruk (sekitar 40 persen).
Tak sulit untuk segera mendapati persoalan yang tersimpan di balik pertumbuhan bekas wilayah Kasultanan Banten yang pernah makmur pada abad XVI ini. Sedikit saja bergeser posisi dari pusat kota menuju wilayah tengah-selatan Banten, pemandangan dan suasana berubah.
Selain ruas jalan yang mirip kubangan kerbau, rumah sederhana berbahan bilik atau kayu yang cenderung kumuh juga mudah ditemui. Menuju selatan Banten melalui jalur Saketi-Malingping, apalagi jalur Malingping-Wanayasa-Cigeulis, benar-benar mirip dasar sungai kering. Jika mau memakai jalur ”tengah” melalui perbatasan Bogor-Sukabumi, tak dianjurkan karena rawan.
Ketimpangan infrastruktur antarwilayah utara-selatan atau barat-timur sudah menjadi persoalan klasik Banten. Kemampuan ekonomi per wilayah di Banten memang sangat senjang dari pangkalnya. Dengan dasar harga berlaku tahun 2008, PDRB per kapita Kabupaten Pandeglang sebesar Rp 6,4 juta dan Kabupaten Lebak Rp 5,5 juta. Bandingkan dengan PDRB per kapita Kota Tangerang Rp 29,1 juta (lima kali lipat) atau Kota Cilegon yang Rp 52,4 juta (10 kali lipat)! Meski tidak semua kemampuan dan kemajuan ekonomi wilayah tecermin dari PDRB, buktinya wilayah di selatan masih tertinggal.
Pertumbuhan menurun
Sukses otonomi daerah juga bisa diukur dari angka pertumbuhan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Dalam kajian ini, data yang diperbandingkan adalah IPM 1996-1999 dan IPM 2000-2005. Persentase pertumbuhan sebelum otonomi didapatkan dengan mengurangkan angka IPM 1999 dengan angka 1996 dibagi angka harapan hidup 1996 dikalikan 100 persen.
Menggunakan pendekatan cara ini, meski secara absolut hampir semua indikator IPM meningkat positif, laju pertumbuhannya selama 2000-2005 ternyata cenderung menurun dibandingkan dengan 1996-1999.
Pertumbuhan angka harapan hidup pada masa otonomi di Banten ternyata turun dibandingkan dengan sebelum otonomi (1996-1999). Penurunan pertumbuhan itu juga terekam untuk angka melek huruf, kecuali di Kabupaten Tangerang.
Banyak hal memengaruhi pertumbuhan IPM di kota/kabupaten. Perubahan konstelasi politik di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, pembenahan sistem birokrasi, efektivitas lembaga legislatif, dan perilaku koruptif bisa berkontribusi pada naik turunnya IPM.
Merunut pendapat mayoritas publik Banten dalam jajak pendapat, korupsi, rendahnya tingkat pendidikan, dan permasalahan di lapisan elite politik Banten adalah yang paling menghambat laju kemajuan wilayah ini. Indikasi perilaku korupsi bukan menurun, justru kian marak, terbukti dari diseretnya pejabat di pemda dan DPRD ke pengadilan




Peranan UKM Terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia

Pada pasca krisis tahun 1997 di Indonesia, UKM dapat membuktikan bahwa sektor ini dapat menjadi tumpuan bagi perekonomian nasional. Hal ini dikarenakan UKM mampu bertahan dibandingkan dengan usaha besar yang cenderung mengalami keterpurukan. Hal tersebut dibuktikan dengan semakin bertambahnya jumlah UKM setiap tahunnya. Pada tahun 2005 jumlah unit UKM sebanyak 47,1 juta unit dengan proporsi 99,9 persen dari total unit usaha yang ada di Indonesia dan pada tahun 2006 jumlah UKM meningkat menjadi sebanyak 48,9 juta unit. Seiring dengan peningkatan jumlah usaha UKM, maka turut meningkatkan jumlah tenaga kerja yang diserap. Pada tahun 2005, jumlah tenaga kerja yang diserap UKM sebanyak 83,2 juta jiwa kemudian meningkat pada tahun 2006 menjadi sebanyak 85,4 juta jiwa. UKM menyerap 96,18 persen dari seluruh tenaga kerja di Indonesia (BPS, 2007). Posisi tersebut menunjukan bahwa UKM berpotensi menjadi wadah pemberdayaan masyarakat dan penggerak dinamika perekonomian.
Akan tetapi disisi lain, terdapat hambatan internal dan eksternal dari UKM. Sehingga hal tersebut mengakibatkan produktivitas UKM sangat rendah dalam menciptakan nilai tambah. Hal ini dapat dilihat dari sumbangannya terhadap PDB yang belum cukup tinggi. Meskipun secara unit usaha merupakan usaha yang dominan di Indonesia, akan tetapi sektor ini masih kalah bersaing dengan usaha besar yang jumlahnya sangat sedikit, akan tetapi sumbangannya terhadap PDB sangat besar. Dalam menyikapi hal ini, strategi pengembangan UKM yang dikaji yaitu dari sisi perbankan melalui bantuan keuangan. Lembaga keuangan dalam sektor perbankan mempunyai fungsi sebagai intermediasi dalam aktifitas suatu perekonomian. Hal tersebut ditinjau dengan adanya Kredit Usaha Kecil (KUK) melalui Kredit Modal Kerja (KMK) dan Kredit Investasi (KI). Jika fungsi dari kredit ini berjalan cukup baik maka hal tersebut dapat menciptakan nilai tambah. Sehingga dalam penelitian ini akan dilihat sejauh mana strategi pengembangan UKM dapat mempengaruhi kinerja UKM dari sisi penyerapan tenaga kerja. Selain itu, dilihat bagaimana peranan UKM terhadap pertumbuhan ekonomi.

Pengertian UKM
Usaha Kecil didefinisikan sebagai kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh perseorangan atau rumah tangga maupun suatu badan bertujuan untuk memproduksi barang atau jasa untuk diperniagakan secara komersial dan mempunyai omzet penjualan sebesar 1 (satu) miliar rupiah atau kurang. Sementara Usaha Menengah didefinisikan sebagai kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh perseorangan atau rumah tangga maupun suatu badan bertujuan untuk memproduksi barang atau jasa untuk diperniagakan secara komersial dan mempunyai omzet penjualan lebih dari 1 (satu) miliar.
Menurut Departemen Perindustrian (1993) UMKM didefinisikan sebagai perusahaan yang dimiliki oleh Warga Negara Indonesia (WNI), memiliki total asset tidak lebih dari Rp 600 juta (diluar area perumahan dan perkebunan). Sedangkan definisi yang digunakan oleh Biro Pusat Statistik (BPS) lebih mengarah pada skala usaha dan jumlah tenaga kerja yang diserap. Usaha kecil menggunakan kurang dari lima orang karyawan, sedangkan usaha skala menengah menyerap antara 5-19 tenaga kerja.
Ciri-ciri perusahaan kecil dan menengah di Indonesia, secara umum adalah:
Manajemen berdiri sendiri, dengan kata lain tidak ada pemisahan yang tegas antara pemilik dengan pengelola perusahaan. Pemilik adalah sekaligus pengelola dalamUKM.
Modal disediakan oleh seorang pemilik atau sekelompok kecil pemilik modal.
Daerah operasinya umumnya lokal, walaupun terdapat juga UKM yang memiliki orientasi luar negeri, berupa ekspor ke negara-negara mitra perdagangan.
Ukuran perusahaan, baik dari segi total aset, jumlah karyawan, dan sarana prasarana yang kecil.
Pandangan umum bahwa UKM itu memiliki sifat dan jiwa entrepreneurship (kewiraswastaan) adalah kurang tepat. Ada sub kelompok UKM yang memiliki sifat entrepreneurship tetapi ada pula yang tidak menunjukkan sifat tersebut. Dengan menggunakan kriteria entrepreneurship maka kita dapat membagi UKM dalam empat bagian, yakni :
(1) Livelihood Activities
UKM yang masuk kategori ini pada umumnya bertujuan mencari kesempatan kerja untuk mencari nafkah. Para pelaku dikelompok ini tidak memiliki jiwa entrepreneurship. Kelompok ini disebut sebagai sektor informal. Di Indonesia jumlah UKM kategori ini adalah yang terbesar.
(2) Micro enterprise
 UKM ini lebih bersifat “artisan” (pengrajin) dan tidak bersifat entrepreneurship (kewiraswastaan). Jumlah UKM ini di Indonesia juga relatif besar.
(3) Small Dynamic Enterprises
UKM ini yang sering memiliki jiwa entrepreneurship. Banyak pengusaha skala menengah dan besar yang tadinya berasal dari kategori ini. Kalau dibina dengan baik maka sebagian dari UKM kategori ini akan masuk ke kategori empat. Jumlah kelompok UKM ini jauh lebih kecil dari jumlah UKM yang masuk kategori satu dan dua. Kelompok UKM ini sudah bisa menerima pekerjaan sub-kontrak dan ekspor.
(4) Fast Moving Enterprises
 Ini adalah UKM tulen yang memilki jiwa entrepreneurship yang sejati. Dari kelompok ini kemudian akan muncul usaha skala menengah dan besar. Kelompok ini jumlahnya juga lebih sedikit dari UKM kategori satu dan dua.
PERANAN UKM DALAM PERTUMBUHAN EKONOMI DAN KESEMPATAN KERJA
Peranan UMKM terlihat cukup jelas pasca krisis ekonomi, yang dapat dilihat dari besaran pertambahan nilai PDB, pada periode 1998 – 2002 yang relative netral dari intervensi pemerintah dalam pengembangan sector sector perekonmian karena kemampuan pemerintah yang relative terbatas, sector yang menunjukkan pertambahan PDB terbesar berasal dari industry kecil, kemudian diikuti industry menengah dan besar. Hal ini mengindikasikan bahwa UKM mampu dan berpotensi untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi pada masa akan dating.
Dari aspek penyerapan tenaga kerja, sector pertanian secara absolute memiliki kontribusi lebih besar dari pada sector pertambangan, sector industry pengolahan dan sector industry jasa. Arah perkembangan ekonomi seperti ini akan menimbulkan kesenjangan pendapatan pendapatan yang semakin mendalam antara sector yang menghasilkan pertumbuhan ekonomi lebih tinggi dan menyerap tenaga kerja lebih sedikit.
PERAN UMKM DALAM PENCIPTAAN DEVISA NEGARA
UKM juga berkontribusi terhadap penerimaan ekspor, walaupun kontribusi UKM jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan kontribusi usaha besar (table 5.1). pada tahun 2005 nilai ekspor usaha kecil mencapai 27.700 milyar dan menciptakan peranan sebesar 4,86 persen terhadap total ekspor. Padahal pada tahun 2002 nilai ekspor skala usaha yang sama sebesar 20.496 milyar dan menciptakan peranan sebesar 5,13% terhadap total ekspor.  Artinya terjadi peningkatan pada nilai walaupun peranan ekspor pada UK sedikit mengalami penurun. Untuk UM, nilai ekspor UM juga meningkat dari 66,821 milyar di tahu 2002 (16,74%) naik menjadi 81.429 milyar dengan peranan yang mengalami penurunan yang mengalami penurunan yaitu sebesar 14,30% ditahun 2005.
Berdasarkan distribusi pendapatan ekspor menurut skala usaha (table 5.2), maka periode 2003 – 2005 sektor pengerak ekspor terbesar secara total adalah industry pengolahan, dan penyumbang ekspor terkecil adalah sector pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan. Khusus pada UK, penymbang terbesar ekspor ekspor nonmigas adalah sector industry pengolahan yang diikuti oleh sector pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan dan terakhir adalah sector pertambangan dan penggalian. Sedangkan untuk UM sumbangan terbesar terhadap ekspor adalah sector industry pengolahan.