BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Asuransi dalam Islam
Kata Asuransi berasal dari bahasa
Belanda assurantie, dan dalam bahasa Inggris disebut insurance. Kata tersebut
kemudian disalin dalam bahasa Indonesia dengan kata “pertanggungan”. Kemudian
dalam bahasa Arab asuransi digunakan dengan istilah at-ta’min, penanggungnya
disebut mu’ammin, dan tertanggung disebut dengan mu’amman lahu atau musta’min.
Pada prinsipnya, asuransi kerugian
adalah mekanisme proteksi atau perlindungan dari risiko kerugian keuangan
dengan cara mengalihkan risiko kepada pihak lain. Berikut adalah beberapa
definisi asuransi menurut beberapa sumber :
1. Menurut
Kitab Undang-undang Hukum Dagang pasal 246
Asuransi atau pertanggungan adalah
suatu perjanjian dengan mana sesorang penanggung mengikatkan diri kepada
seseorang tertanggung, dengan menerima suatu premi untuk memberikan penggantian
kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang
diharapkan, yang mungkin terjadi karena suatu peristiwa tak tentu.
2. Menurut
Undang-undang No. 2 Th. 1992 tentang Usaha Perasuransian
Asuransi atau pertanggungan adalah
perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung
mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk
memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan, atau
kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak
ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa
yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas
meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
3. Menurut
Paham Ekonomi
Asuransi merupakan suatu lembaga
keuangan karena melalui asuransi dapat dihimpun dana besar, yang dapat
digunakan untuk membiayai pembangunan, disamping bermanfaat bagi masyarakat
yang berpartisipasi dalam bisnis asuransi, serta asuransi bertujuan memberikan
perlindungan atau proteksi atas kerugian keuangan (financial loss), yang
ditimbulkan oleh peristiwa yang tidak diduga sebelumnya (fortuitious event).
Menurut Adiwarman Karim, at’ta’min,
asuransi atau pertanggungan adalah suatu akad yang konsekwensinya salah satu
pihak menjanjikan pihak lain untuk menanggung kerugian yang mungkin dihadapinya
sebagai imbalan dari apa yang diberikan kepadanya yang disebut premi asuransi.
Sementara dalam Kitab Undang-Undang Perniagaan (Wetboek van Koophandel) bahwa
yang dimaksud dengan asuransi adalah suatu persetujuan dimana pihak yang
meminjam berjanji kepada pihak yang dipinjam untuk menerima sejumlah uang premi
sebagai pengganti kerugian, yang mungkin akan diderita oleh yang dijamin karena
akibat dari suatu peristiwa yang belum jelas akan terjadi.
Dalam ensiklopedia Indonesia
disebutkan bahwa asuransi adalah jaminan atas pertanggungan yang diberikan oleh
penanggung (biasanya kantor asuransi) kepada yang tertanggung untuk resiko
kerugian sebagai yang ditetapkan dalam surat perjanjian (polis) bila terjadi
kebakaran, kecurian, kerusakan, dan sebagainya, ataupun mengenai kehilangan
jiwa (kematian) atau kecelakaan lainnya, dengan yang teretanggung membayar
premi sebanyak yang ditentukan kepada penanggung tiap-tiap bulannya.
Jadi Asuransi adalah sebuah akad
pertanggungan yang mengharuskan penanggung (mu’amin) atau dalam hal ini adalah
perusahaan untuk memberikan kepada nasabah atau kliennya (Mu’amman) sejumlah
harta sebagai konsekwensi daripada akad itu, baik itu berbentuk imbalan, gaji
atau ganti rugi barang dalam bentuk apapun sesuai dengan yang tertera dalam
akad ketika terjadi bencana maupun kecelakaan atau terbuktinya sebuah bahaya
yang tertera dalam akad (transaksi), sebagai imbalan uang (premi) yang
dibayarkan secara rutin, berkala maupun secara kontan dari klien atau nasabah
tersebut kepada perusahaan asuransi (mu’ammin) disaat hidupnya.
Dalam menerjemahkan istilah
asuransi ke dalam konteks asuransi Islam terdapat beberapa istilah, antara lain
takaful (bahasa Arab), ta’min (bahasa Arab) dan Islamic insurance (bahasa
Inggris). Istilah-istilah tersebut pada dasarnya tidak berbeda satu sama lain
yang mengandung makna pertanggungan atau saling menanggung. Namun dalam
prakteknya istilah yang paling populer digunakan sebagai istilah lain dari
asuransi dan juga paling banyak digunakan di beberapa negara termasuk Indonesia
adalah istilah takaful.
Istilah takaful dalam bahasa Arab
berasal dari kata dasar kafala-yakfulu-takafala-yatakafalu-takaful yang berarti
saling menanggung atau menanggung bersama. Kata takaful tidak dijumpai dalam
Al-Qur’an, namun demikian ada sejumlah kata yang seakar dengan kata takaful,
seperti misalnya dalam QS. Thaha (20): 40 “hal adullukum ‘ala man yakfuluhu”.
Yang artinya “bolehkah saya menunjukkan kepadamu orang yang akan memeliharanya
(menanggungnya)?”.
Apabila kita memasukkan asuransi
takaful ke dalam lapangan kehidupan muamalah, maka takaful dalam pengertian
muamalah mengandung arti yaitu saling menanggung risiko di antara sesama
manusia sehingga di antara satu dengan lainnya menjadi penanggung atas risiko
masing-masing. Dengan demikian, gagasan mengenai asuransi takaful berkaitan
dengan unsur saling menanggung risiko di antara para peserta asuransi, di mana
peserta yang satu menjadi penanggung peserta yang lainnya.
2.2 Asuransi Syari’ah
2.2.1 Pengertian Asuransi Syari’ah
Definisi asuransi syari'ah menurut Dewan
Syariah Nasional adalah usaha untuk saling melindungi dan tolong menolong
diantara sejumlah orang melalui investasi dalam bentuk aset dan atau tabarru'
yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko/ bahaya tertentu
melalui akad yang sesuai dengan syariah.
Asuransi Syariah adalah sebuah
sistem dimana para partisipan/ anggota/ peserta mendonasikan/ menghibahkan
sebagian atau seluruh kontribusi yang akan digunakan untuk membayar klaim, jika
terjadi musibah yang dialami oleh sebagian partisipan/ anggota/ peserta.
Peranan perusahaan disini hanya sebatas pengelolaan operasional perusahaan
asuransi serta investasi dari dana-dana/ kontribusi yang diterima/ dilimpahkan
kepada perusahaan.
Asuransi syari'ah disebut juga
dengan asuransi ta'awun yang artinya tolong menolong atau saling membantu. Oleh
karena itu dapat dikatakan bahwa Asuransi ta'awun prinsip dasarnya adalah dasar
syariat yang saling toleran terhadap sesama manusia untuk menjalin kebersamaan
dalam meringankan bencana yang dialami peserta. Prinsip ini sesuai dengan
firman Allah SWT dalam surat Al Maidah ayat 2, yang artinya : "Dan saling
tolong menolonglah dalam kebaikan dan ketaqwaan dan jangan saling tolong
menolong dalam dosa dan permusuhan"
2.2.2 Dasar Hukum Islam terkait Asuransi Syariah
1. Surat
Yusuf :43-49 “Allah menggambarkan contoh usaha manusia membentuk sistem
proteksi menghadapi kemungkinan yang buruk di masa depan.
2. Surat
Al-Baqarah :188 Firman Allah “...dan janganlah kalian memakan harta di antara
kamu sekalian dengan jalan yang bathil, dan janganlah kalian bawa urusan harta
itu kepada hakim yang dengan maksud kalian hendak memakan sebagian harta orang
lain dengan jalan dosa, padahal kamu tahu (al:Baqarah:188)
3. Al
Hasyr:18 Artinya :”Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Alloh dan
hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuat untuk hari esok
(masa depan) dan bertaqwalah kamu kepada Alloh. Sesungguhnya Alloh Maha
Mengetahui apa yang engkau kerjakan”.
2.2.3 Prinsip Asuransi Syari’ah
1. Dibangun
atas dasar kerjasama (taawun)
2. Asuransi
syariat tidak bersifat mu’awadhoh, tetapi tabarru’ atau mudhorobah
3. Sumbangan
(tabarru’) sama dengan hibah (pemberian) oleh karena itu haram hukumnya ditarik
kembali. Kalau terjadi peritiwa, maka diselesaikan menurut syariat.
4. Setiap
anggota yang menyetor uangnya menurut jumlah yang telah ditentukan harus
disertai dengan niat membantu demi menegakkan prinsip ukhuwah.
5. Tidak
dibenarkan seseorang menyetorkan sejumlah kecil uangnya dengan tujuan supaya ia
mendapat imbalan yang berlipat bila terkena suatu musibah. Akan tetapi ia
diberi uang jamaah sebagai ganti atas kerugian itu menurut ijin yang diberikan
oleh jamaah.
6. Apabila
uang itu akan dikembangkan maka harus dijalankan menurut aturan syar’i.
2.3 Perbedaan Asuransi Konvensional dengan
Asuransi Syariah
Dalam asuransi konvensional,
asuransi merupakan transfer of risk yaitu pemindahan risiko dari
peserta/tertanggung ke perusahaan/ penanggung sehingga terjadi pula transfer of
fund yaitu pemindahan dana dari tertanggung kepada penanggung. Sebagai
konsekuensi maka kepemilikan dana pun berpindah, dana peserta menjadi milik
perusahaan ausransi.
Beberapa perbedaan asuransi syariah
dengan asuransi konvensional, di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Akad
(Perjanjian)
Setiap perjanjian transaksi bisnis
di antara pihak-pihak yang melakukannya harus jelas secara hukum ataupun
non-hukum untuk mempermudah jalannya kegiatan bisnis tersebut saat ini dan masa
mendatang. Akad dalam praktek muamalah menjadi dasar yang menentukan sah atau
tidaknya suatu kegiatan transaksi secara syariah. Hal tersebut menjadi sangat
menentukan di dalam praktek asuransi syariah. Akad antara perusahaan dengan
peserta harus jelas, menggunakan akad jual beli (tadabuli) atau tolong menolong
(takaful).
Akad pada asuransi konvensional
didasarkan pada akad tadabuli atau perjanjian jual beli. Syarat sahnya suatu
perjanjian jual beli didasarkan atas adanya penjual, pembeli, harga, dan barang
yang diperjual-belikan. Sementara itu di dalam perjanjian yang diterapkan dalam
asuransi konvensional hanya memenuhi persyaratan adanya penjual, pembeli dan
barang yang diperjual-belikan. Sedangkan untuk harga tidak dapat dijelaskan
secara kuantitas, berapa besar premi yang harus dibayarkan oleh peserta
asuransi utnuk mendapatkan sejumlah uang pertanggungan. Karena hanya Allah yang
tahu kapan kita meninggal. Perusahaan akan membayarkan uang pertanggunggan
sesuai dengan perjanjian, akan tetapi jumlah premi yang akan disetorkan oleh
peserta tidak jelas tergantung usia. Jika peserta dipanjangkan usia maka
perusahaan akan untung namun apabila peserta baru sekali membayar ditakdirkan
meninggal maka perusahaan akan rugi. Dengan demikian menurut pandangan syariah
terjadi cacat karena ketidakjelasan (gharar) dalam hal berapa besar yang akan
dibayarkan oleh pemegang polis (pada produk saving) atau berapa besar yang akan
diterima pemegang polis (pada produk non-saving).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,
seorang ulama salaf ternama dalam kitabnya "Majmu Fatwa" menyatakan
bahwa akad dalam Islam dibangun atas dasar mewujudkan keadilan dan menjauhkan
penganiayaan. Harta seorang muslim yang lain tidak halal, kecuali dipindahkan
haknya kepada yang disukainya. Keadilan dapat diketahui dengan akalnya, seperti
pembeli wajib menyatakan harganya dan penjual menyerahkan barang jualannya
kepada pembeli. Dilarang menipu, berkhianat, dan jika berhutang harus dilunasi.
Jika kita mengadakan suatu perjanjian dalam suatu transaksi bisnis secara tidak
tunai maka kita wajib melakukan hal-hal berikut: I% Menuliskan bentuk
perjanjian (seperti adanya SP dan polis). I% Bentuk perjanjian harus jelas
dimengerti oleh pihak-pihak yang bertransaksi (akad tadabuli atau akad
takafuli). I% Adanya saksi dari kedua belah pihak. I% Para saksi harus cakap
dan bersedia secara hukum jika suatu saat diminta kewajibannya. (Penulis
simpulkan dari firman Allah SWT, surat al-Baqarah ayat 282).
2. Gharar
(Ketidakjelasan)
Definisi gharar menurut Madzhab
Syafii adalah apa-apa yang akibatnya tersembunyi dalam pandangan kita dan
akibat yang paling kita takuti. Gharar/ketidakjelasan itu terjadi pada asuransi
konvensional, dikarenakan tidak adanya batas waktu pembayaran premi yang
didasarkan atas usia tertanggung, sementara kita sepakat bahwa usia seseorang
berada di tangan Yang Mahakuasa. Jika baru sekali seorang tertanggung membayar
premi ditakdirkan meninggal, perusahaan akan rugi sementara pihak tertanggung
merasa untung secara materi. Jika tertanggung dipanjangkan usianya, perusahaan
akan untung dan tertanggung merasa rugi secara financial. Dengan kata lain
kedua belah pihak tidak mengetahui seberapa lama masing-masing pihak
menjalankan transaksi tersebut. Ketidakjelasan jangka waktu pembayaran dan
jumlah pembayaran mengakibatkan ketidaklengkapan suatu rukun akad, yang kita
kenal sebagai gharar. Para ulama berpendapat bahwa perjanjian jual beli/akad
tadabuli tersebut cacat secara hukum.
Pada asuransi syariah akad tadabuli
diganti dengan akad takafuli, yaitu suatu niat tolong-menolong sesama peserta
apabila ada yang ditakdirkan mendapat musibah. Mekanisme ini oleh para ulama
dianggap paling selamat, karena kita menghindari larangan Allah dalam praktik
muamalah yang gharar.
Pada akad asuransi konvensional
dana peserta menjadi milik perusahaan asuransi (transfer of fund). Sedangkan
dalam asuransi syariah, dana yang terkumpul adalah milik peserta (shahibul mal)
dan perusahaan asuransi syariah (mudharib) tidak bisa mengklaim menjadi milik
perusahaan.
3. Tabarru
dan Tabungan
Tabarru berasal dari kata tabarraa-yatabarra-tabarrawan,
yang artinya sumbangan atau derma. Orang yang menyumbang disebut mutabarri
(dermawan). Niat bertabbaru bermaksud memberikan dana kebajikan secara ikhlas
untuk tujuan saling membantu satu sama lain sesama peserta asuransi syariah, ketika
di antaranya ada yang mendapat musibah. Oleh karena itu dana tabarru disimpan
dalam rekening khusus. Apabila ada yang tertimpa musibah, dana klaim yang
diberikan adalah dari rekening tabarru yang sudah diniatkan oleh sesama peserta
untuk saling menolong.
Menyisihkan harta untuk tujuan
membantu orang yang terkena musibah sangat dianjurkan dalam agama Islam, dan
akan mendapat balasan yang sangat besar di hadapan Allah, sebagaimana
digambarkan dalam hadist Nabi SAW,"Barang siapa memenuhi hajat saudaranya
maka Allah akan memenuhi hajatnya."(HR Bukhari Muslim dan Abu Daud).
Untuk produk asuransi jiwa syariah
yang mengandung unsur saving maka dana yang dititipkan oleh peserta (premi)
selain terdiri dari unsur dana tabarru terdapat pula unsur dana tabungan yang digunakan
sebagai dana investasi oleh perusahaan. Sementara investasi pada asuransi
kerugian syariah menggunakan dana tabarru karena tidak ada unsur saving. Hasil
dari investasi akan dibagikan kepada peserta sesuai dengan akad awal. Jika
peserta mengundurkan diri maka dana tabungan beserta hasilnya akan dikembalikan
kepada peserta secara penuh.
4. Maisir
(Judi)
Allah SWT berfirman dalam surat
al-Maidah ayat 90,"Hai orang-orang yang beriman sesungguhnya khamar,
maisir, berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji, termasuk
perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapatkan
keberuntungan."
Prof. Mustafa Ahmad Zarqa berkata
bahwa dalam asuransi konvensional terdapat unsur gharar yang pada gilirannya
menimbulkan qimar. Sedangkan al qimar sama dengan al maisir. Muhammad Fadli
Yusuf menjelaskan unsur maisir dalam asuransi konvensional karena adanya unsur
gharar, terutama dalam kasus asuransi jiwa. Apabila pemegang polis asuransi
jiwa meninggal dunia sebelum periode akhir polis asuransinya dan telah membayar
preminya sebagian, maka ahliwaris akan menerima sejumlah uang tertentu.
Pemegang polistidak mengetahui dari mana dan bagaimana cara perusahaan asuransi
konvensional membayarkan uang pertanggungannya. Hal ini dipandang karena
keuntungan yang diperoleh berasal dari keberanian mengambil risiko oleh
perusahaan yang bersangkutan. Muhammad Fadli Yusuf mengatakan, tetapi apabila
pemegang polis mengambil asuransi itu tidak dapat disebut judi. Yang boleh
disebut judi jika perusahaan asuransi mengandalkan banyak/sedikitnya klaim yang
dibayar. Sebab keuntungan perusahaan asuransi sangat dipengaruhi oleh banyak
/sedikitnya klaim yang dibayarkannya.
5. Riba
Dalam hal riba, semua asuransi
konvensional menginvestasikan dananya dengan bunga, yang berarti selalu
melibatkan diri dalam riba. Hal demikian juga dilakukan saat perhitungan kepada
peserta, dilakukan dengan menghitung keuntungan di depan. Investasi asuransi
konvensional mengacu pada peraturan pemerintah yaitu investasi wajib dilakukan
pada jenis investasi yang aman dan menguntungkan serta memiliki likuiditas yang
sesuai dengan kewajiban yang harus dipenuhi. Begitu pula dengan Keputusan
Menteri Keuangan No. 424/KMK.6/2003 Tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan
Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Semua jenis investasi yang diatur dalam
peraturan pemerintah dan KMK dilakukan berdasarkan sistem bunga.
Asuransi syariah menyimpan dananya
di bnak yang berdasarkan syariat Islam dengan sistem mudharabah. Untuk berbagai
bentuk investasi lainnya didasarkan atas petunjuk Dewan Pengawas Syariah. Allah
SWT berfirman dalam surat Ali Imron ayat 130,"Hai orang-orang yang beriman
janganlah kamu memakan riba yang memang riba itu bersifat berlipat ganda dan
bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapatkan keberuntungan." Hadist,
"Rasulullah mengutuk pemakaian riba, pemberi makan riba, penulisnya dan
saksinya seraya bersabda kepada mereka semua sama."(HR Muslim)
6. Dana
Hangus
Ketidakadilan yang terjadi pada
asuransi konvensional ketika seorang peserta karena suatu sebab tertentu
terpaksa mengundurkan diri sebelum masa reversing period. Sementara ia telah
beberapa kali membayar premi atau telah membayar sejumlah uang premi. Karena
kondisi tersebut maka dana yang telah dibayarkan tersebut menjadi hangus. Demikian
juga pada asuransi non-saving atau asuransi kerugian jika habis masa kontrak
dan tidak terjadi klaim, maka premi yang dibayarkan akan hangus dan menjadi
milik perusahaan.
Kebijakan dana hangus yang
diterapkan oleh asuransi konvensional akan menimbulkan ketidakadilan dan
merugikan peserta asuransi terutama bagi mereka yang tidak mampu melanjutkan
karena suatu hal. Di satu sisi peserta tidak punya dana untuk melanjutkan,
sedangkan jika ia tidak melanjutkan dana yang sudah masuk akan hangus. Kondisi ini
mengakibatkan posisi yang dizalimi. Prinsip muamalah melarang kita saling
menzalimi, laa dharaa wala dhirara ( tidak ada yang merugikan dan dirugikan).
Asuransi syariah dalam mekanismenya
tidak mengenal dana hangus, karena nilai tunai telah diberlakukan sejak awal
peserta masuk asuransi. Bagi peserta yang baru masuk karena satu dan lain hal
mengundurkan diri maka dana/premi yang sebelumnya dimasukkan dapat diambil
kembali kecuali sebagian kecil dana yang dniatkan sebagai dana tabarru (dana
kebajikan). Hal yang sama berlaku pula pada asuransi kerugian. Jika selama dan
selesai masa kontrak tidak terjadi klaim, maka asuransi syariah akan membagikan
sebagian dana/premi tersebut dengan pola bagi hasil 60:40 atau 70:30 sesuai
kesepakatan si awal perjanjian (akad). Jadi premi yang dibayarkan pada awal
tahun masih dapat dikembalikan sebagian ke peserta (tidak hangus). Jumlahnya
sangat tergantung dari hasil investasinya.
7. Konsep
Taawun Dalam Asuransi Syariah
Sebagian para ahli syariah
meyamakan sistem asuransi syariah dengan sistem aqilah pada zaman Rasulullah
SAW. Dr. Satria Effendi M.Zein dalam makalahnya mendefinisikan takaful dengan
at takmin, at taawun atau at takaful (asuransi bersifat tolong menolong), yang
dikelola oleh suatu badan, dan terjadi kesepakatan dari anggota untuk bersama
-sama memikul suatu kerugian atau penderitaan yang mungkin terjadi pada
anggotanya. Untuk kepentingan itu masing-masing anggota membayar iuran berkala
(premi). Dana yang terkumpul akan terus dikembangkan, sehingga hasilnya dapat dipergunakan
untuk kepentingan di atas, bukan untuk kepentingan badan pengelola (asuransi
syariah). Dengan demikian badan tersebut tidak dengan sengaja mengeruk
keuntungan untuk dirinya sendiri. Disini sifat yang paling menonjol adalah
tolong-menolong seperti yang diajarkan Islam.
8. Dewan
Pengawas Syariah
Pada asuransi syariah seluruh
aktivitas kegiatannya diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang merupakan
bagian dari Dewan Syariah Nasional (DSN), baik dari segi operasional
perusahaan, investasi maupun SDM. Kedudukan DPS dalam struktur organisasi
perusahaan setara dengan dewan komisaris.
2.4 Macam-Macam
Asuransi
1. Menurut
Sifat Pelaksanaannya
a. Asuransi
sukarela
Pada prinsipnya pertanggungan
dilakukan dengan cara sukarela, dan semata-mata dilakukan atas kesadaran
seseorang akan kemungkinan terjadinya risiko kerugian atas sesuatu yang
dipertanggungkan.
b. Asuransi wajib
Merupakan asuransi yang sifatnya
wajib dilakukan oleh pihak-pihak terkait yang pelakasanaannya dilakukan
berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang ditetapkan oleh pemerintah.
2. Menurut Jenis Usaha Perasuransian
Menurut UU No. 2 tahun 1992 tentang
usaha perasuransian jenis usaha perasuransian dibagi menjadi beberapa jenis :
a. Usaha
Asuransi
1) Asuransi
kerugian
Yaitu usaha yang memberikan
jasa-jasa dalam penanggulangan risiko atas kerugian, kehilangan manfaat dn
tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang timbul dari peristiwa yag tidak
pasti. Usaha asuransi kerugian ini dapat dipilah sebagai berikut :
a) Asuransi kebakaran adalah asuransi yang
menutup risiko kebakaran.
b) Asuransi pengangkutan adalah asuransi
pengangkutan penanggung atau perusahaan asuransi akan menjamin kerugian yang
dialami tertanggung akibat terjadinya
kehilangan atau kerusakan saat pelayaran.
c) Asuransi aneka adalah jenis asuransi kerugian
yang tidak dapat digolongkan kedala kedua asuransi diatas, missal : asuransi
kendaraan bermotor, asuransi kecelakaan diri, dan lain sebagainya.
2) Asuransi jiwa (life insurance)
Adalah suatu jasa yang diberikan
oleh perusahaan asuransi dalam penanggulangan risiko yang dikaitkan dengan jiwa
atau meninggalnya seseorang yang dipertanggungkan. Asuransi jiwa memberikan:
a) Dukungan bagi pihak yang selamat dari suatu
kecelakaan.
b) Santunan bagi tertanggung yang meninggal
c) Bantuan untuk menghindari kerugian yang
disebabkan oleh meninggalnya orang kunci
d) Penghimpunan dana untuk persiapan pension
Ruang lingkup usaha asuransi jiwa
dapat digolongkan menjadi 3, yaitu :
a) Asuransi
jiwa biasa (ordinary life insurance)
Biasanya polis asuransi jiwa ini
diterbitkan dalam suatu nilai tertentu dengan premi yang dibayar secara
periodik (bulanan, triwulanan, semesteran, dan tahunan).
b) Asuransi
jiwa kelompok (group life insurance)
Asuransi jiwa ini biasanya
dikeluarkan tanpa ada pemeriksaan medis atas suatu kelompok orang di bawah satu
polis induk di mana masing-masing anggota kelompok menerima sertifikat
partisipasi.
c) Asuransi
jiwa industrial (industrial life insurance)
Dalam jenis asuransi ini dibuat
dengan jumlah nominal tertentu. Premi umumnya dibayar mingguan yang dibayarkan
di rumah pemilik polis kepada agen yang disebut debit agent.
3) Reasuransi (reinsurance)
Adalah pertanggungan ulang atau
pertanggungan yang dipertanggungkan atau asuransi dari asuransi. Reasuransi adalah
suatu system penyebaran risiko dimana penanggung menyebarkan seluruh atau
sebagian dari pertanggungan yang ditutupnya kepada penanggung yang lain.
Penyebaran risiko tersebut dapat dilakukan dengan dua mekanisme, yaitu
koasuransi dan reasuransi. Koasuransi adalah pertanggungan yang dilakukan
secara bersama atas suatu objek asuransi. Sedangkan reasuransi adalah proses
untuk untuk mengasuransikan kembali pertanggung jawaban pada pihak tertanggung.
Fungsi reasuransi adalah :
a) Meningkatkan kapasitas akseptasi
b) Alat
penyebaran risiko
c) Meningkatkan stabilitas usaha
d) Meningkatkan kepercayaan
Mekanisme untuk reasuransi antara
lain :
a) Treaty
dan facultative reinsurance
Dalam model ini, reasuradur
memberikan sejumlah pertanggungan yang diinginkan dengan perjanjian kontrak dan
reasuradur harus menerima jumlah yang ditawarkan.
b) Reasuransi
proporsional
Pembagian risiko antara ceding
company dengan reasuradur dilakukan secara proporsional berdasarkan jumlah
retensi yang telah ditetapkan. Retensi adalah jumlah maksimum risiko yang
ditahan atau ditanggung oleh ceding company.
c) Reasuransi
nonproporsional
Bentuk ini memberikan kemungkinan
bagi reasuradur untuk tidak membayar klaim atau membayar klaim terbatas jumlah
yang ada di treaty. Treaty dalam mekanisme reasuransi adalah pertanggungan yang
dilakukan berdasarkan ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat yang dituangkan
dalam suatu perjanjian antara ceding company dan reasuradur yang mana
reasuradur mengikatkan diri untuk menerima setiap penutupan yang diberikan oleh
ceding company.
b. Usaha Penunjang
1) Pialang asuransi adalah usaha yang memberikan
jasa keperantaraan dalam penutupan asuransi dan penanganan penyelesaian ganti
rugi asuransi dengan bertindak untuk kepentingan tertanggung.
2) Pialang reasuransi adalah usaha yang
memberikan jasa keperantaraan dalam penetapan reasuransi dan penanganan ganti
rugi reasuransi dewan bertindak untuk kepentingan perusahaan asuransi.
3) Penilai kerugian asuransi adalah usaha yang
memberikan jasa penilaian terhadap kerugian pada objek asuransi yang
dipertanggungkan.
4) Konsultan aktuaria adalah usaha yang
memberikan jasa konsultan aktuaria.
5) Agen asuransi adalah pihak yang memberikan
jasa keperantaraan dalam rangka pemasaran jasa asuransi untuk dan atas nama
penanggung.
Di Indonesia terdapat berbagai
macam bentuk asuransi, antara lain :
1. Asuransi
Beasiswa
2. Asuransi
Dwi Guna
3. Asuransi
Jiwa
4. Asuransi
Kebakaran
Kalau melihat berbagai macam
asuransi tersebut di atas, maka pada prisnipnya orang yang menggunakan jasa
perusahan asuransi memperhatikan dan merencanakan masa depan keluarga,
pendidikannya dan jaminan hari tua. Sedangkan perusahan asuransi turut
memikirkan dan berusaha untuk memperkecil kerugian yang mungkin timbul akibat
terjadi resiko dalam melaksanakan kegiatan usaha, baik terhadap kepemimpinan
pribadi ataupun perusahaan.
2.5 Manfaat
Asuransi
Pada dasarnya asuransi memberikan
manfaat bagi pihak tertanggung, antara
lain :
1. Rasa aman dan perlindungan
Polis asuransi yang dimiliki oleh
tertanggung akan memberikan rasa aman dari risiko atau kerugian yang mungkin
timbul. Kalau risiko atau kerugian tersebut benar-benar terjadi, pihak
tertanggung (insured) berhak atas nilai kerugian sebesar nilai polis atau
ditentukan berdasarkan perjanjian antara tertanggung dan penanggung.
2. Pendistribusian biaya dan manfaat yang lebih
adil
Prinsip keadilan diperhitungkan
dengan matang untuk menentukannilai pertanggungan dan premi yang harus
ditanggung oleh pemegang polis secara periodik dengan memperhatikan secara
cermat faktor-faktor yang berpengaruh besar dalam asuransi tersebut. Untuk
mendapatkan nilai pertanggungan, pihak penanggung sudah membuat kalkulasi yang
tidak merugikan kedua belah pihak. Semakin besar nilai pertangguangan, semakin
besar pula premi periodik yang harus dibayar oleh tertanggung.
3. Polis asuransi dapat dijadikan sebagai jaminan
untuk memperoleh kredit
4. Berfungsi sebagai tabungan dan sumber
pendapatan
Premi yang dibayarkan setiap
periode memiliki substansi yang sama dengan tabungan. Pihak penanggung juga
memperhitungkan bunga atas premi yang dibayarkan dan juga bonus (sesuai dengan
perjanjian kedua belah pihak).
5. Alat penyebaran risiko
Risiko yang seharusnya ditanggung
oleh tertanggung ikut dibebankan juga pada penanggung dengan imbalan sejumlah
premi tertentu yang didasarkan atas nilai pertanggungan.
6. Membantu meningkatkan kegiatan usaha
Investasi yang dilakukan oleh para
investor dibebani dengan risikokerugian yang bisa diakibatkan oleh berbagai
macam sebab (pencurian, kebakaran, kecelakaan, dan lain-lain).
Asuransi juga memiliki beberapa
manfaat yang cukup besar bagi kehidupan masyarakat, karena :
1. Asuransi membuat masyarakat atau perusahaan
menjadi lebih aman dari resiko kerugian yang mungkin timbul.
2. Asuransi menciptakan efisiensi perusahaan
(bussiness eficiency).
3. Asuransi bisa dijadikan sebagai alat
penabung (saving) yang aman dari gejolak ekonomi.
4. Asuransi sebagai sumber pendapatan yang
didasarkan pada financy the bussiness.
Dengan melihat manfaat yang
ditimbulkan asuransi tersebut, maka dapat diperkirakan bahwa asuransi ini akan
membawa dampak yang positif bagi kepentingan hidup masyarakat. Bahkan lebih
dari itu, asuransi merupakan tuntutan masa mendatang seiring dengan kemajuan di
bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi serta peradaban manusia.
2.6 Prinsip Asuransi dalam Asuransi
Prinsip-prinsip dari asuransi itu
adalah sebagai berikut :
1. Insurable
interest (kepentingan yang dipertanggungkan)
Pada prinsipnya merupakan hak
berdasarkan hukum untuk mempertanggungkan suatu risiko yang berkaitan dengan
keuangan, yang diakui sah secara hukum antara tertanggung dengan sesuatu yang
dipertanggungkan. Syarat yang perlu dipenuhi agar memenuhi kriteria insurable
interest :
a. Kerugiaan
tidak dapat diperkirakan. Risiko yang bisa diasuransikan berkaitan dengan
kemungkinan terjadinya kerugian. Kemungkian tersebut tidak dapat diperkirakan
terjadinya.
b. Kewajaran.
Risiko yang dipertanggungkan dalam asuransi adalah benda atau harta yang
memiliki nilai material baik bagi tertanggung maupun bagi penanggung.
c. Catastrophic.
Risiko yang mungkin terjadi haruslah tidak akan menimbulkan suaatu kemungkinan
rugi yang sangat besar, yaitu jika sebagian besar pertanggungan kemungkinan
akan mengalami kerugian pada waktu yang bersamaan.
d. Homogen.
Untuk memenuhi syarat dapat diasuransikan, barang atau harta yang akan
dipertanggungkan harus homogen, yang berarti banyak barang yang serupa atau
sejenis.
2. Utmost
Good Faith (itikad baik)
Dalam melakukan kontrak asuransi,
kedua belah pihak dilandasi oleh itikad baik. Antar pihak tertanggung dan
penanggung harus saling mengungkapkan keterbukaan. Kewajiban dari kedua belah
pihak untuk mengungkapkan fakta disebut duty of disclosure.
3. Indemnity
Konsep indemnity adalah mekanisme
penanggung untuk mengompensasi risiko yang menimpa tertanggung dengan ganti
rugi finansial. Konsep ini tidak dapat mengganti nyawa yang hilang atau anggota
tubuh yang rusak atau cacat karena indemnity berkaitan dengan ganti rugi
finansial.
4. Proximate
Cause
Adalah suatu sebab aktif, efisien
yang mengakibatkan terjadinya suatu persitiwa secara berantai atau berurutan
tanpa intervensi suatu ketentuan lain, diawali dan bekerja dengan aktif dari
suatu sumber baru dan independent.
5. Subrogation
Pada prinsipnya merupakan hak
penanggung yang telah memberikan ganti rugi kepada tertanggung untuk menuntut
pihak lain yang mengakibatkan kepentingan asuransinya mengalami suatu peristiwa
kerugian.
6. Contribution
Bahwa penanggung berhak mengajak
penanggung-penanggung yang lain yang memiliki kepentingan yang sama untuk ikut
bersama membayar ganti rugi kepada seorang tertanggung meskipun jumlah
tanggungan masing-masing belum tentu sama besar.
2.7 Hukum
Asuransi Menurut Pandangan Islam
Para ulama membagi asuransi ke
dalam asuransi atas individu dan asuransi atas benda. Kadang ada bentuk
asuransi yang lain yang disebut dengan asuransi pertangunggjawaban, dan hal ini
dengan sendirinya masalah fizh. Asuransi atas benda adalah seperti asuransi
atas kendaraan, asuransi atas barang dagangan, asuransi atas barang berharga,
asuransi kebakaran, dan sebagainya. Apabila jangka waktu asuransi ini tertentu
maka tidak masalah. Demikian pula dalam sebagian asuransi atas individu,
seperti asuransi jiwa, asuransi kesehatan dengan terbatasnya jangka waktu
adalah tidak masalah.
Di kalangan ulama dan cendekiwan
muslim ada 4 (empat) pendapat tentang hukum asuransi, yakni :
Pertama : mengharamkan asuransi dalam segala macam
dan bentuknya sekarang ini, termasuk asuransi jiwa
Kedua : membolehkan semua asuransi dalam
prakteknya sekarang ini
Ketiga : membolehkan asuransi yang bersifat
sosial dan mengharamkan asuransi yang semata-mata bersifat komersial
Keempat : menganggap asuransi syubhat
Pendapat pertama (yang
mengharamkan) didukung antara lain oleh Sayid Sabiq, Abdullah al-Qalqili,
Muhammad Yusuf al-Qarsdhawi, dan Muhammad Bakhit al-Muth’i. Alasan – alasan
mereka yang mengharamkan asuransi adalah sebagai berikut :
1. Asuransi
pada hakekatnya sama dengan judi
2. Mengandung
unsur tidak jelas dan tidak pasti
3. Mengandung
unsur riba
4. Mengandung
unsur eksploitasi, karena pemegang surat perjanjian (polis) kalau tidak bisa
melanjutkan pembayaran preminya, bisa hilang atau dikurangi uang premi yang
telah dibayarkan
5. Premi-premi
yang telah dibayarkan oleh para pemegang polis diputar dalam kredit berbunga
(praktek riba)
6. Asuransi
termasuk akad sharfi, artinya jual beli atau tukar menukar mata uang tidak
dengan tunai (cash and carry)
7. Hidup
dan mati manusia dijadikan objek bisnis, yang berarti mendahului takdir Tuhan
Yang Maha Esa
Pendapat kedua (yang membolehkan)
antara lain Abdul Wahab Khallaf; Mustafa Ahmad Zarqa, Profesor Hukum Islam pada
Fakultas Syariah Universitas Syiria; Muhammad Yusuf Musa, Profesor Hukum Islam
pada Universitas Cairo Mesir; dan Abdurahman Isa, pengarang Al-Muamalah
al-Haditsah wa Ahkamuha. Alasan mereka membolehkan asuransi, termasuk asuransi
jiwa, adalah sebagai berikut :
1. Tidak
ada nash Al Quran dan Hadis yang melarang asuransi
2. Ada
kesepekatan atau kerelaan antar kedua belah pihak
3. Salang
menguntungkan kedua belah pihak
4. Mengandung
kepentingan umum (maslhah ‘amah), sebab premi-premi yang terkumpul bisa
dinvestasikan untuk proyek-proyek yang produktif dan untk pembangunan
5. Asuransi
termasuk akad mudharabah, artinya akad kerja sama bagi hasil antara pemegang
polis (pemilik modal) dengan pihak perusahaan asuransi yang memutar modal atas
dasar profit and loss sharing (PLS)
6. Asuransi
termasuk koperasi (syirkah ta’wuniyah)
7. Diqiyaskan
(analogi) dengan sistem pensiun, seperti Taspen.
Muhammad Thantawi mengungkapkan
pendapat Abdul Wahab Khallaf dan Muhammad al-Bahi. Abdul Wahab Khallaf
mengatakan bahwa transaksi jiwa adalah transaksi yang sah dan bermanfaat, baik
bagi nasabahnya, perusahaan maupun masyarakat. Transaksi tersebut merupakan
tabungan dan mencerminkan tolong menolong demi kemaslahatan nasabah dan ahli
waris jika nasabah tiba – tiba meninggal. Sedangkan syariat hanya mengharamkan
sesuatu yang berbahaya dan sesuatu yang bahayanya lebih banyak daripada
manfaatnya. Demikian juga Muhammad al-Bahi menyatakan bahwa tidak ada bahaya
sedikitpun dalam asuransi. Karena asuransi didirikan berdasarkan solidaritas
dan tolong menolong, bagi hasil dan mencari keuntungan, menutup kebutuhan kaum
lemah, menghindari kemiskinan, penyediaan lapangan pekerjaan bagi yang tidak
mampu serta mempermudah pengusaha kacil.
Pendapat ketiga yang membolehkan
asuransi yang bersifat sosial dan mengharamkan asuransi yang bersifat komersial
antara lain didukung oleh Muhammad Abu Zahrah, Guru Besar Universitas kairo
Mesir. Alasan membolehkan asuransi yang bersifat sosial pada garis besarnya
sama dengan alasan pendapat yang kedua. Sedangkan alasan mengharamkan asuransi
yang bersifat komersial pada garis besarnya sama dengan pendapat yang pertama.
Muhammad Abu Zahrah sebagaimana
yang dikutip oleh Muhammad Thantawi menyimpulkan bahwa dalam aliran-aliran
islam yang ada, transaksi yang serupa dengan asuransi tidak diperbolehkan,
apapun bentukya. Kaidah hukum yang menyatakan : ﺍﻷﺻﻞ ﻓﻰ ﺍﻟﻌﻘﻮﺩ ﺍﻹ ﺑﺎﺣﺔ (asal
dalam trasanksi-transaksi adalah mubah), tidak cukup untuk memperbolehkan
asuransi, karena mengandung unsur-unsur penipuan, spekulasi, dan tidak mempunyai
landasan hukum, serta tidak ada kebiasaan yang membolehkan transaksi seperti
ini.
Sedangkan pendapat keempat yang
menganggap asuransi syubhat, beralasan karena tidak ada dalil–dalil syar’i yang
secara jelas mengharamkan ataupun menghalalkan asuransi. Dan apabila hukum
asuransi dikategorikan syubhat, maka konsekuensinya adalah kita dituntut
bersikap hati-hati menghadapi asuransi dan kita baru diperbolehkan mengambil
asuransi, apabila kita dalam keadaan darurat (emergency) atau hajat/kebutuhan
(necessity).
Yusuf Qardhawi sebagaimana
dijelaskan Ajat Sudrajat, bahwa dalam bentuk asuransi jiwa sangat jauh sekali
dari watak perdagangan dan solidaritas berserikat, bahkan lebih lanjut
menurutnya asuransi jiwa merupakan akad perjanjian yang fasid, walaupun antara
kedua belah pihak saling mengetahui, namun kemnafaatannya tidak berbobot.
Keadaan dalam asuransi ini tidak bisa dianggap sebagai alasan halalnya
perbuatan tersebut, karena muamalah ini tidak menegakkan prinsip-prinsip
keadilan dengan tegas yang tidak dicampuri dengan kezaliman dan penipuan serta
perampasan oleh salah satu pihak terhadap pihak lain, sedang keadilan dan tidak
saling membahayakan adalah pokok.
2.8 Pengaturan Perasuransian di Indonesia
Berikut merupakan peraturan
perundangan yang digunakan sebagai dasar acuan pembinaan dan pengawasan atas
usaha perasuransian di Indonesia saat ini :
1. UU
no.2 tahun 1992 tentang usaha perasuransian
2. PP
no.73 tahun 1002 tentang usaha perasuransian
3. Keputusan
menteri keuangan, antara lain:
a. Nomor
223/KMK.017/1993 tanggal 26 Februari 1993 tentang Perizinan Perusahaan Asuransi
dan Reasuransi
b. No.224/KNE.017/1993
tanggal 26 Februari 1993 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan
Reasuransi
c. No.225/KMK.017/1993
tanggal 26 Februari 1993 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asurasni dan
Reasuransi
d. No.226/CMK.017/1993
tanggal 26 Februari 1993 tentang Perizinan dan Penyelenggaraan Kegiatan Usaha
Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi
2.9 Perizinan Pendirian Perusahaan Asuransi
Pemberian izin oleh Menteri
Keuangan bagi perusahaan perasuransian menurut PP Nomor 73 Tahun 1992 dilakukan
dalam dua tahap, yaitu:
1. Persetujuan
Prinsip
Adalah persetujuan yang diberikan
untuk melakukan persiapan pendirian suatu perusahaan yang bergerak di bidang perasuransian,
dimana batas waktu persetujuan prinsip dibatasi selama-lamanya satu tahun.
2. Izin
usaha
Adalah izin yang diberikan untuk
melakukan usaha setelah perisiapan pendirian selesai, dimana izin usaha
diberikan setelah persyaratan izin usaha telah dipenuhi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar