Selasa, 31 Desember 2013

Asuransi dalam Islam



BAB II
PEMBAHASAN

2.1     Pengertian Asuransi dalam Islam
Kata Asuransi berasal dari bahasa Belanda assurantie, dan dalam bahasa Inggris disebut insurance. Kata tersebut kemudian disalin dalam bahasa Indonesia dengan kata “pertanggungan”. Kemudian dalam bahasa Arab asuransi digunakan dengan istilah at-ta’min, penanggungnya disebut mu’ammin, dan tertanggung disebut dengan mu’amman lahu atau musta’min.
Pada prinsipnya, asuransi kerugian adalah mekanisme proteksi atau perlindungan dari risiko kerugian keuangan dengan cara mengalihkan risiko kepada pihak lain. Berikut adalah beberapa definisi asuransi menurut beberapa sumber :
1.    Menurut Kitab Undang-undang Hukum Dagang pasal 246
Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian dengan mana sesorang penanggung mengikatkan diri kepada seseorang tertanggung, dengan menerima suatu premi untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin terjadi karena suatu peristiwa tak tentu.
2.    Menurut Undang-undang No. 2 Th. 1992 tentang Usaha Perasuransian
Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.

3.    Menurut Paham Ekonomi
Asuransi merupakan suatu lembaga keuangan karena melalui asuransi dapat dihimpun dana besar, yang dapat digunakan untuk membiayai pembangunan, disamping bermanfaat bagi masyarakat yang berpartisipasi dalam bisnis asuransi, serta asuransi bertujuan memberikan perlindungan atau proteksi atas kerugian keuangan (financial loss), yang ditimbulkan oleh peristiwa yang tidak diduga sebelumnya (fortuitious event).
Menurut Adiwarman Karim, at’ta’min, asuransi atau pertanggungan adalah suatu akad yang konsekwensinya salah satu pihak menjanjikan pihak lain untuk menanggung kerugian yang mungkin dihadapinya sebagai imbalan dari apa yang diberikan kepadanya yang disebut premi asuransi. Sementara dalam Kitab Undang-Undang Perniagaan (Wetboek van Koophandel) bahwa yang dimaksud dengan asuransi adalah suatu persetujuan dimana pihak yang meminjam berjanji kepada pihak yang dipinjam untuk menerima sejumlah uang premi sebagai pengganti kerugian, yang mungkin akan diderita oleh yang dijamin karena akibat dari suatu peristiwa yang belum jelas akan terjadi.
Dalam ensiklopedia Indonesia disebutkan bahwa asuransi adalah jaminan atas pertanggungan yang diberikan oleh penanggung (biasanya kantor asuransi) kepada yang tertanggung untuk resiko kerugian sebagai yang ditetapkan dalam surat perjanjian (polis) bila terjadi kebakaran, kecurian, kerusakan, dan sebagainya, ataupun mengenai kehilangan jiwa (kematian) atau kecelakaan lainnya, dengan yang teretanggung membayar premi sebanyak yang ditentukan kepada penanggung tiap-tiap bulannya.
Jadi Asuransi adalah sebuah akad pertanggungan yang mengharuskan penanggung (mu’amin) atau dalam hal ini adalah perusahaan untuk memberikan kepada nasabah atau kliennya (Mu’amman) sejumlah harta sebagai konsekwensi daripada akad itu, baik itu berbentuk imbalan, gaji atau ganti rugi barang dalam bentuk apapun sesuai dengan yang tertera dalam akad ketika terjadi bencana maupun kecelakaan atau terbuktinya sebuah bahaya yang tertera dalam akad (transaksi), sebagai imbalan uang (premi) yang dibayarkan secara rutin, berkala maupun secara kontan dari klien atau nasabah tersebut kepada perusahaan asuransi (mu’ammin) disaat hidupnya.

Dalam menerjemahkan istilah asuransi ke dalam konteks asuransi Islam terdapat beberapa istilah, antara lain takaful (bahasa Arab), ta’min (bahasa Arab) dan Islamic insurance (bahasa Inggris). Istilah-istilah tersebut pada dasarnya tidak berbeda satu sama lain yang mengandung makna pertanggungan atau saling menanggung. Namun dalam prakteknya istilah yang paling populer digunakan sebagai istilah lain dari asuransi dan juga paling banyak digunakan di beberapa negara termasuk Indonesia adalah istilah takaful.
Istilah takaful dalam bahasa Arab berasal dari kata dasar kafala-yakfulu-takafala-yatakafalu-takaful yang berarti saling menanggung atau menanggung bersama. Kata takaful tidak dijumpai dalam Al-Qur’an, namun demikian ada sejumlah kata yang seakar dengan kata takaful, seperti misalnya dalam QS. Thaha (20): 40 “hal adullukum ‘ala man yakfuluhu”. Yang artinya “bolehkah saya menunjukkan kepadamu orang yang akan memeliharanya (menanggungnya)?”.
Apabila kita memasukkan asuransi takaful ke dalam lapangan kehidupan muamalah, maka takaful dalam pengertian muamalah mengandung arti yaitu saling menanggung risiko di antara sesama manusia sehingga di antara satu dengan lainnya menjadi penanggung atas risiko masing-masing. Dengan demikian, gagasan mengenai asuransi takaful berkaitan dengan unsur saling menanggung risiko di antara para peserta asuransi, di mana peserta yang satu menjadi penanggung peserta yang lainnya.

2.2     Asuransi Syari’ah
2.2.1  Pengertian Asuransi Syari’ah
 Definisi asuransi syari'ah menurut Dewan Syariah Nasional adalah usaha untuk saling melindungi dan tolong menolong diantara sejumlah orang melalui investasi dalam bentuk aset dan atau tabarru' yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko/ bahaya tertentu melalui akad yang sesuai dengan syariah.
Asuransi Syariah adalah sebuah sistem dimana para partisipan/ anggota/ peserta mendonasikan/ menghibahkan sebagian atau seluruh kontribusi yang akan digunakan untuk membayar klaim, jika terjadi musibah yang dialami oleh sebagian partisipan/ anggota/ peserta. Peranan perusahaan disini hanya sebatas pengelolaan operasional perusahaan asuransi serta investasi dari dana-dana/ kontribusi yang diterima/ dilimpahkan kepada perusahaan.
Asuransi syari'ah disebut juga dengan asuransi ta'awun yang artinya tolong menolong atau saling membantu. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa Asuransi ta'awun prinsip dasarnya adalah dasar syariat yang saling toleran terhadap sesama manusia untuk menjalin kebersamaan dalam meringankan bencana yang dialami peserta. Prinsip ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Al Maidah ayat 2, yang artinya : "Dan saling tolong menolonglah dalam kebaikan dan ketaqwaan dan jangan saling tolong menolong dalam dosa dan permusuhan"
2.2.2  Dasar Hukum Islam terkait Asuransi Syariah
1.  Surat Yusuf :43-49 “Allah menggambarkan contoh usaha manusia membentuk sistem proteksi menghadapi kemungkinan yang buruk di masa depan.
2.  Surat Al-Baqarah :188 Firman Allah “...dan janganlah kalian memakan harta di antara kamu sekalian dengan jalan yang bathil, dan janganlah kalian bawa urusan harta itu kepada hakim yang dengan maksud kalian hendak memakan sebagian harta orang lain dengan jalan dosa, padahal kamu tahu (al:Baqarah:188)
3.  Al Hasyr:18 Artinya :”Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Alloh dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuat untuk hari esok (masa depan) dan bertaqwalah kamu kepada Alloh. Sesungguhnya Alloh Maha Mengetahui apa yang engkau kerjakan”.
2.2.3  Prinsip Asuransi Syari’ah
1.  Dibangun atas dasar kerjasama (taawun)
2.  Asuransi syariat tidak bersifat mu’awadhoh, tetapi tabarru’ atau mudhorobah
3.  Sumbangan (tabarru’) sama dengan hibah (pemberian) oleh karena itu haram hukumnya ditarik kembali. Kalau terjadi peritiwa, maka diselesaikan menurut syariat.
4.  Setiap anggota yang menyetor uangnya menurut jumlah yang telah ditentukan harus disertai dengan niat membantu demi menegakkan prinsip ukhuwah.
5.  Tidak dibenarkan seseorang menyetorkan sejumlah kecil uangnya dengan tujuan supaya ia mendapat imbalan yang berlipat bila terkena suatu musibah. Akan tetapi ia diberi uang jamaah sebagai ganti atas kerugian itu menurut ijin yang diberikan oleh jamaah.
6.  Apabila uang itu akan dikembangkan maka harus dijalankan menurut aturan syar’i.

2.3     Perbedaan Asuransi Konvensional dengan Asuransi Syariah
Dalam asuransi konvensional, asuransi merupakan transfer of risk yaitu pemindahan risiko dari peserta/tertanggung ke perusahaan/ penanggung sehingga terjadi pula transfer of fund yaitu pemindahan dana dari tertanggung kepada penanggung. Sebagai konsekuensi maka kepemilikan dana pun berpindah, dana peserta menjadi milik perusahaan ausransi.
Beberapa perbedaan asuransi syariah dengan asuransi konvensional, di antaranya adalah sebagai berikut:
1.    Akad (Perjanjian)
Setiap perjanjian transaksi bisnis di antara pihak-pihak yang melakukannya harus jelas secara hukum ataupun non-hukum untuk mempermudah jalannya kegiatan bisnis tersebut saat ini dan masa mendatang. Akad dalam praktek muamalah menjadi dasar yang menentukan sah atau tidaknya suatu kegiatan transaksi secara syariah. Hal tersebut menjadi sangat menentukan di dalam praktek asuransi syariah. Akad antara perusahaan dengan peserta harus jelas, menggunakan akad jual beli (tadabuli) atau tolong menolong (takaful).
Akad pada asuransi konvensional didasarkan pada akad tadabuli atau perjanjian jual beli. Syarat sahnya suatu perjanjian jual beli didasarkan atas adanya penjual, pembeli, harga, dan barang yang diperjual-belikan. Sementara itu di dalam perjanjian yang diterapkan dalam asuransi konvensional hanya memenuhi persyaratan adanya penjual, pembeli dan barang yang diperjual-belikan. Sedangkan untuk harga tidak dapat dijelaskan secara kuantitas, berapa besar premi yang harus dibayarkan oleh peserta asuransi utnuk mendapatkan sejumlah uang pertanggungan. Karena hanya Allah yang tahu kapan kita meninggal. Perusahaan akan membayarkan uang pertanggunggan sesuai dengan perjanjian, akan tetapi jumlah premi yang akan disetorkan oleh peserta tidak jelas tergantung usia. Jika peserta dipanjangkan usia maka perusahaan akan untung namun apabila peserta baru sekali membayar ditakdirkan meninggal maka perusahaan akan rugi. Dengan demikian menurut pandangan syariah terjadi cacat karena ketidakjelasan (gharar) dalam hal berapa besar yang akan dibayarkan oleh pemegang polis (pada produk saving) atau berapa besar yang akan diterima pemegang polis (pada produk non-saving).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, seorang ulama salaf ternama dalam kitabnya "Majmu Fatwa" menyatakan bahwa akad dalam Islam dibangun atas dasar mewujudkan keadilan dan menjauhkan penganiayaan. Harta seorang muslim yang lain tidak halal, kecuali dipindahkan haknya kepada yang disukainya. Keadilan dapat diketahui dengan akalnya, seperti pembeli wajib menyatakan harganya dan penjual menyerahkan barang jualannya kepada pembeli. Dilarang menipu, berkhianat, dan jika berhutang harus dilunasi. Jika kita mengadakan suatu perjanjian dalam suatu transaksi bisnis secara tidak tunai maka kita wajib melakukan hal-hal berikut: I% Menuliskan bentuk perjanjian (seperti adanya SP dan polis). I% Bentuk perjanjian harus jelas dimengerti oleh pihak-pihak yang bertransaksi (akad tadabuli atau akad takafuli). I% Adanya saksi dari kedua belah pihak. I% Para saksi harus cakap dan bersedia secara hukum jika suatu saat diminta kewajibannya. (Penulis simpulkan dari firman Allah SWT, surat al-Baqarah ayat 282).
2.    Gharar (Ketidakjelasan)
Definisi gharar menurut Madzhab Syafii adalah apa-apa yang akibatnya tersembunyi dalam pandangan kita dan akibat yang paling kita takuti. Gharar/ketidakjelasan itu terjadi pada asuransi konvensional, dikarenakan tidak adanya batas waktu pembayaran premi yang didasarkan atas usia tertanggung, sementara kita sepakat bahwa usia seseorang berada di tangan Yang Mahakuasa. Jika baru sekali seorang tertanggung membayar premi ditakdirkan meninggal, perusahaan akan rugi sementara pihak tertanggung merasa untung secara materi. Jika tertanggung dipanjangkan usianya, perusahaan akan untung dan tertanggung merasa rugi secara financial. Dengan kata lain kedua belah pihak tidak mengetahui seberapa lama masing-masing pihak menjalankan transaksi tersebut. Ketidakjelasan jangka waktu pembayaran dan jumlah pembayaran mengakibatkan ketidaklengkapan suatu rukun akad, yang kita kenal sebagai gharar. Para ulama berpendapat bahwa perjanjian jual beli/akad tadabuli tersebut cacat secara hukum.
Pada asuransi syariah akad tadabuli diganti dengan akad takafuli, yaitu suatu niat tolong-menolong sesama peserta apabila ada yang ditakdirkan mendapat musibah. Mekanisme ini oleh para ulama dianggap paling selamat, karena kita menghindari larangan Allah dalam praktik muamalah yang gharar.
Pada akad asuransi konvensional dana peserta menjadi milik perusahaan asuransi (transfer of fund). Sedangkan dalam asuransi syariah, dana yang terkumpul adalah milik peserta (shahibul mal) dan perusahaan asuransi syariah (mudharib) tidak bisa mengklaim menjadi milik perusahaan. 
3.    Tabarru dan Tabungan
Tabarru berasal dari kata tabarraa-yatabarra-tabarrawan, yang artinya sumbangan atau derma. Orang yang menyumbang disebut mutabarri (dermawan). Niat bertabbaru bermaksud memberikan dana kebajikan secara ikhlas untuk tujuan saling membantu satu sama lain sesama peserta asuransi syariah, ketika di antaranya ada yang mendapat musibah. Oleh karena itu dana tabarru disimpan dalam rekening khusus. Apabila ada yang tertimpa musibah, dana klaim yang diberikan adalah dari rekening tabarru yang sudah diniatkan oleh sesama peserta untuk saling menolong.
Menyisihkan harta untuk tujuan membantu orang yang terkena musibah sangat dianjurkan dalam agama Islam, dan akan mendapat balasan yang sangat besar di hadapan Allah, sebagaimana digambarkan dalam hadist Nabi SAW,"Barang siapa memenuhi hajat saudaranya maka Allah akan memenuhi hajatnya."(HR Bukhari Muslim dan Abu Daud).
Untuk produk asuransi jiwa syariah yang mengandung unsur saving maka dana yang dititipkan oleh peserta (premi) selain terdiri dari unsur dana tabarru terdapat pula unsur dana tabungan yang digunakan sebagai dana investasi oleh perusahaan. Sementara investasi pada asuransi kerugian syariah menggunakan dana tabarru karena tidak ada unsur saving. Hasil dari investasi akan dibagikan kepada peserta sesuai dengan akad awal. Jika peserta mengundurkan diri maka dana tabungan beserta hasilnya akan dikembalikan kepada peserta secara penuh.
4.    Maisir (Judi)
Allah SWT berfirman dalam surat al-Maidah ayat 90,"Hai orang-orang yang beriman sesungguhnya khamar, maisir, berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji, termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapatkan keberuntungan."
Prof. Mustafa Ahmad Zarqa berkata bahwa dalam asuransi konvensional terdapat unsur gharar yang pada gilirannya menimbulkan qimar. Sedangkan al qimar sama dengan al maisir. Muhammad Fadli Yusuf menjelaskan unsur maisir dalam asuransi konvensional karena adanya unsur gharar, terutama dalam kasus asuransi jiwa. Apabila pemegang polis asuransi jiwa meninggal dunia sebelum periode akhir polis asuransinya dan telah membayar preminya sebagian, maka ahliwaris akan menerima sejumlah uang tertentu. Pemegang polistidak mengetahui dari mana dan bagaimana cara perusahaan asuransi konvensional membayarkan uang pertanggungannya. Hal ini dipandang karena keuntungan yang diperoleh berasal dari keberanian mengambil risiko oleh perusahaan yang bersangkutan. Muhammad Fadli Yusuf mengatakan, tetapi apabila pemegang polis mengambil asuransi itu tidak dapat disebut judi. Yang boleh disebut judi jika perusahaan asuransi mengandalkan banyak/sedikitnya klaim yang dibayar. Sebab keuntungan perusahaan asuransi sangat dipengaruhi oleh banyak /sedikitnya klaim yang dibayarkannya.
5.    Riba
Dalam hal riba, semua asuransi konvensional menginvestasikan dananya dengan bunga, yang berarti selalu melibatkan diri dalam riba. Hal demikian juga dilakukan saat perhitungan kepada peserta, dilakukan dengan menghitung keuntungan di depan. Investasi asuransi konvensional mengacu pada peraturan pemerintah yaitu investasi wajib dilakukan pada jenis investasi yang aman dan menguntungkan serta memiliki likuiditas yang sesuai dengan kewajiban yang harus dipenuhi. Begitu pula dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 424/KMK.6/2003 Tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Semua jenis investasi yang diatur dalam peraturan pemerintah dan KMK dilakukan berdasarkan sistem bunga.
Asuransi syariah menyimpan dananya di bnak yang berdasarkan syariat Islam dengan sistem mudharabah. Untuk berbagai bentuk investasi lainnya didasarkan atas petunjuk Dewan Pengawas Syariah. Allah SWT berfirman dalam surat Ali Imron ayat 130,"Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu memakan riba yang memang riba itu bersifat berlipat ganda dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapatkan keberuntungan." Hadist, "Rasulullah mengutuk pemakaian riba, pemberi makan riba, penulisnya dan saksinya seraya bersabda kepada mereka semua sama."(HR Muslim)
6.    Dana Hangus
Ketidakadilan yang terjadi pada asuransi konvensional ketika seorang peserta karena suatu sebab tertentu terpaksa mengundurkan diri sebelum masa reversing period. Sementara ia telah beberapa kali membayar premi atau telah membayar sejumlah uang premi. Karena kondisi tersebut maka dana yang telah dibayarkan tersebut menjadi hangus. Demikian juga pada asuransi non-saving atau asuransi kerugian jika habis masa kontrak dan tidak terjadi klaim, maka premi yang dibayarkan akan hangus dan menjadi milik perusahaan.
Kebijakan dana hangus yang diterapkan oleh asuransi konvensional akan menimbulkan ketidakadilan dan merugikan peserta asuransi terutama bagi mereka yang tidak mampu melanjutkan karena suatu hal. Di satu sisi peserta tidak punya dana untuk melanjutkan, sedangkan jika ia tidak melanjutkan dana yang sudah masuk akan hangus. Kondisi ini mengakibatkan posisi yang dizalimi. Prinsip muamalah melarang kita saling menzalimi, laa dharaa wala dhirara ( tidak ada yang merugikan dan dirugikan).
Asuransi syariah dalam mekanismenya tidak mengenal dana hangus, karena nilai tunai telah diberlakukan sejak awal peserta masuk asuransi. Bagi peserta yang baru masuk karena satu dan lain hal mengundurkan diri maka dana/premi yang sebelumnya dimasukkan dapat diambil kembali kecuali sebagian kecil dana yang dniatkan sebagai dana tabarru (dana kebajikan). Hal yang sama berlaku pula pada asuransi kerugian. Jika selama dan selesai masa kontrak tidak terjadi klaim, maka asuransi syariah akan membagikan sebagian dana/premi tersebut dengan pola bagi hasil 60:40 atau 70:30 sesuai kesepakatan si awal perjanjian (akad). Jadi premi yang dibayarkan pada awal tahun masih dapat dikembalikan sebagian ke peserta (tidak hangus). Jumlahnya sangat tergantung dari hasil investasinya.
7.    Konsep Taawun Dalam Asuransi Syariah
Sebagian para ahli syariah meyamakan sistem asuransi syariah dengan sistem aqilah pada zaman Rasulullah SAW. Dr. Satria Effendi M.Zein dalam makalahnya mendefinisikan takaful dengan at takmin, at taawun atau at takaful (asuransi bersifat tolong menolong), yang dikelola oleh suatu badan, dan terjadi kesepakatan dari anggota untuk bersama -sama memikul suatu kerugian atau penderitaan yang mungkin terjadi pada anggotanya. Untuk kepentingan itu masing-masing anggota membayar iuran berkala (premi). Dana yang terkumpul akan terus dikembangkan, sehingga hasilnya dapat dipergunakan untuk kepentingan di atas, bukan untuk kepentingan badan pengelola (asuransi syariah). Dengan demikian badan tersebut tidak dengan sengaja mengeruk keuntungan untuk dirinya sendiri. Disini sifat yang paling menonjol adalah tolong-menolong seperti yang diajarkan Islam.
8.    Dewan Pengawas Syariah
Pada asuransi syariah seluruh aktivitas kegiatannya diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang merupakan bagian dari Dewan Syariah Nasional (DSN), baik dari segi operasional perusahaan, investasi maupun SDM. Kedudukan DPS dalam struktur organisasi perusahaan setara dengan dewan komisaris.



2.4     Macam-Macam Asuransi
1.    Menurut Sifat Pelaksanaannya
a.  Asuransi sukarela
Pada prinsipnya pertanggungan dilakukan dengan cara sukarela, dan semata-mata dilakukan atas kesadaran seseorang akan kemungkinan terjadinya risiko kerugian atas sesuatu yang dipertanggungkan.
b.  Asuransi wajib
Merupakan asuransi yang sifatnya wajib dilakukan oleh pihak-pihak terkait yang pelakasanaannya dilakukan berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang ditetapkan oleh pemerintah.
2.    Menurut Jenis Usaha Perasuransian
Menurut UU No. 2 tahun 1992 tentang usaha perasuransian jenis usaha perasuransian dibagi menjadi beberapa jenis :
a.  Usaha Asuransi
1)  Asuransi kerugian
Yaitu usaha yang memberikan jasa-jasa dalam penanggulangan risiko atas kerugian, kehilangan manfaat dn tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang timbul dari peristiwa yag tidak pasti. Usaha asuransi kerugian ini dapat dipilah sebagai berikut :
a)  Asuransi kebakaran adalah asuransi yang menutup risiko kebakaran.
b)  Asuransi pengangkutan adalah asuransi pengangkutan penanggung atau perusahaan asuransi akan menjamin kerugian yang dialami tertanggung akibat  terjadinya kehilangan atau kerusakan saat pelayaran.
c)  Asuransi aneka adalah jenis asuransi kerugian yang tidak dapat digolongkan kedala kedua asuransi diatas, missal : asuransi kendaraan bermotor, asuransi kecelakaan diri, dan lain sebagainya.

2)  Asuransi jiwa (life insurance)
Adalah suatu jasa yang diberikan oleh perusahaan asuransi dalam penanggulangan risiko yang dikaitkan dengan jiwa atau meninggalnya seseorang yang dipertanggungkan. Asuransi jiwa memberikan:
a)  Dukungan bagi pihak yang selamat dari suatu kecelakaan.
b)  Santunan bagi tertanggung yang meninggal
c)  Bantuan untuk menghindari kerugian yang disebabkan oleh meninggalnya orang kunci
d) Penghimpunan dana untuk persiapan pension
Ruang lingkup usaha asuransi jiwa dapat digolongkan menjadi 3, yaitu :
a)  Asuransi jiwa biasa (ordinary life insurance)
Biasanya polis asuransi jiwa ini diterbitkan dalam suatu nilai tertentu dengan premi yang dibayar secara periodik (bulanan, triwulanan, semesteran, dan tahunan).
b)  Asuransi jiwa kelompok (group life insurance)
Asuransi jiwa ini biasanya dikeluarkan tanpa ada pemeriksaan medis atas suatu kelompok orang di bawah satu polis induk di mana masing-masing anggota kelompok menerima sertifikat partisipasi.
c)  Asuransi jiwa industrial (industrial life insurance)
Dalam jenis asuransi ini dibuat dengan jumlah nominal tertentu. Premi umumnya dibayar mingguan yang dibayarkan di rumah pemilik polis kepada agen yang disebut debit agent.
3)  Reasuransi (reinsurance)
Adalah pertanggungan ulang atau pertanggungan yang dipertanggungkan atau asuransi dari asuransi. Reasuransi adalah suatu system penyebaran risiko dimana penanggung menyebarkan seluruh atau sebagian dari pertanggungan yang ditutupnya kepada penanggung yang lain. Penyebaran risiko tersebut dapat dilakukan dengan dua mekanisme, yaitu koasuransi dan reasuransi. Koasuransi adalah pertanggungan yang dilakukan secara bersama atas suatu objek asuransi. Sedangkan reasuransi adalah proses untuk untuk mengasuransikan kembali pertanggung jawaban pada pihak tertanggung. Fungsi reasuransi adalah :


a)  Meningkatkan kapasitas akseptasi
b)  Alat penyebaran risiko
c)  Meningkatkan stabilitas usaha
d) Meningkatkan kepercayaan


Mekanisme untuk reasuransi antara lain :
a)  Treaty dan facultative reinsurance
Dalam model ini, reasuradur memberikan sejumlah pertanggungan yang diinginkan dengan perjanjian kontrak dan reasuradur harus menerima jumlah yang ditawarkan.
b)  Reasuransi proporsional
Pembagian risiko antara ceding company dengan reasuradur dilakukan secara proporsional berdasarkan jumlah retensi yang telah ditetapkan. Retensi adalah jumlah maksimum risiko yang ditahan atau ditanggung oleh ceding company.
c)  Reasuransi nonproporsional
Bentuk ini memberikan kemungkinan bagi reasuradur untuk tidak membayar klaim atau membayar klaim terbatas jumlah yang ada di treaty. Treaty dalam mekanisme reasuransi adalah pertanggungan yang dilakukan berdasarkan ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat yang dituangkan dalam suatu perjanjian antara ceding company dan reasuradur yang mana reasuradur mengikatkan diri untuk menerima setiap penutupan yang diberikan oleh ceding company.

b.  Usaha Penunjang
1)  Pialang asuransi adalah usaha yang memberikan jasa keperantaraan dalam penutupan asuransi dan penanganan penyelesaian ganti rugi asuransi dengan bertindak untuk kepentingan tertanggung.
2)  Pialang reasuransi adalah usaha yang memberikan jasa keperantaraan dalam penetapan reasuransi dan penanganan ganti rugi reasuransi dewan bertindak untuk kepentingan perusahaan asuransi.
3)  Penilai kerugian asuransi adalah usaha yang memberikan jasa penilaian terhadap kerugian pada objek asuransi yang dipertanggungkan.
4)  Konsultan aktuaria adalah usaha yang memberikan jasa konsultan aktuaria.
5)  Agen asuransi adalah pihak yang memberikan jasa keperantaraan dalam rangka pemasaran jasa asuransi untuk dan atas nama penanggung.

Di Indonesia terdapat berbagai macam bentuk asuransi, antara lain :
1.  Asuransi Beasiswa
2.  Asuransi Dwi Guna
3.  Asuransi Jiwa
4.  Asuransi Kebakaran
Kalau melihat berbagai macam asuransi tersebut di atas, maka pada prisnipnya orang yang menggunakan jasa perusahan asuransi memperhatikan dan merencanakan masa depan keluarga, pendidikannya dan jaminan hari tua. Sedangkan perusahan asuransi turut memikirkan dan berusaha untuk memperkecil kerugian yang mungkin timbul akibat terjadi resiko dalam melaksanakan kegiatan usaha, baik terhadap kepemimpinan pribadi ataupun perusahaan.


2.5     Manfaat Asuransi
Pada dasarnya asuransi memberikan manfaat bagi pihak tertanggung, antara  lain :
1.  Rasa aman dan perlindungan
Polis asuransi yang dimiliki oleh tertanggung akan memberikan rasa aman dari risiko atau kerugian yang mungkin timbul. Kalau risiko atau kerugian tersebut benar-benar terjadi, pihak tertanggung (insured) berhak atas nilai kerugian sebesar nilai polis atau ditentukan berdasarkan perjanjian antara tertanggung dan penanggung.
2.  Pendistribusian biaya dan manfaat yang lebih adil
Prinsip keadilan diperhitungkan dengan matang untuk menentukannilai pertanggungan dan premi yang harus ditanggung oleh pemegang polis secara periodik dengan memperhatikan secara cermat faktor-faktor yang berpengaruh besar dalam asuransi tersebut. Untuk mendapatkan nilai pertanggungan, pihak penanggung sudah membuat kalkulasi yang tidak merugikan kedua belah pihak. Semakin besar nilai pertangguangan, semakin besar pula premi periodik yang harus dibayar oleh tertanggung.
3.  Polis asuransi dapat dijadikan sebagai jaminan untuk memperoleh kredit
4.  Berfungsi sebagai tabungan dan sumber pendapatan
Premi yang dibayarkan setiap periode memiliki substansi yang sama dengan tabungan. Pihak penanggung juga memperhitungkan bunga atas premi yang dibayarkan dan juga bonus (sesuai dengan perjanjian kedua belah pihak).
5.  Alat penyebaran risiko
Risiko yang seharusnya ditanggung oleh tertanggung ikut dibebankan juga pada penanggung dengan imbalan sejumlah premi tertentu yang didasarkan atas nilai pertanggungan.


6.  Membantu meningkatkan kegiatan usaha
Investasi yang dilakukan oleh para investor dibebani dengan risikokerugian yang bisa diakibatkan oleh berbagai macam sebab (pencurian, kebakaran, kecelakaan, dan lain-lain).
Asuransi juga memiliki beberapa manfaat yang cukup besar bagi kehidupan masyarakat, karena :
1.    Asuransi membuat masyarakat atau perusahaan menjadi lebih aman dari resiko kerugian yang mungkin timbul.
2.    Asuransi menciptakan efisiensi perusahaan (bussiness eficiency).
3.    Asuransi bisa dijadikan sebagai alat penabung (saving) yang aman dari gejolak ekonomi.
4.    Asuransi sebagai sumber pendapatan yang didasarkan pada financy the bussiness.
Dengan melihat manfaat yang ditimbulkan asuransi tersebut, maka dapat diperkirakan bahwa asuransi ini akan membawa dampak yang positif bagi kepentingan hidup masyarakat. Bahkan lebih dari itu, asuransi merupakan tuntutan masa mendatang seiring dengan kemajuan di bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi serta peradaban manusia.

2.6     Prinsip Asuransi dalam Asuransi
Prinsip-prinsip dari asuransi itu adalah sebagai berikut :
1.    Insurable interest (kepentingan yang dipertanggungkan)
Pada prinsipnya merupakan hak berdasarkan hukum untuk mempertanggungkan suatu risiko yang berkaitan dengan keuangan, yang diakui sah secara hukum antara tertanggung dengan sesuatu yang dipertanggungkan. Syarat yang perlu dipenuhi agar memenuhi kriteria insurable interest :
a.  Kerugiaan tidak dapat diperkirakan. Risiko yang bisa diasuransikan berkaitan dengan kemungkinan terjadinya kerugian. Kemungkian tersebut tidak dapat diperkirakan terjadinya.
b.  Kewajaran. Risiko yang dipertanggungkan dalam asuransi adalah benda atau harta yang memiliki nilai material baik bagi tertanggung maupun bagi penanggung.
c.  Catastrophic. Risiko yang mungkin terjadi haruslah tidak akan menimbulkan suaatu kemungkinan rugi yang sangat besar, yaitu jika sebagian besar pertanggungan kemungkinan akan mengalami kerugian pada waktu yang bersamaan.
d.  Homogen. Untuk memenuhi syarat dapat diasuransikan, barang atau harta yang akan dipertanggungkan harus homogen, yang berarti banyak barang yang serupa atau sejenis.
2.    Utmost Good Faith (itikad baik)
Dalam melakukan kontrak asuransi, kedua belah pihak dilandasi oleh itikad baik. Antar pihak tertanggung dan penanggung harus saling mengungkapkan keterbukaan. Kewajiban dari kedua belah pihak untuk mengungkapkan fakta disebut duty of disclosure.
3.    Indemnity
Konsep indemnity adalah mekanisme penanggung untuk mengompensasi risiko yang menimpa tertanggung dengan ganti rugi finansial. Konsep ini tidak dapat mengganti nyawa yang hilang atau anggota tubuh yang rusak atau cacat karena indemnity berkaitan dengan ganti rugi finansial.
4.    Proximate Cause
Adalah suatu sebab aktif, efisien yang mengakibatkan terjadinya suatu persitiwa secara berantai atau berurutan tanpa intervensi suatu ketentuan lain, diawali dan bekerja dengan aktif dari suatu sumber baru dan independent.

5.    Subrogation
Pada prinsipnya merupakan hak penanggung yang telah memberikan ganti rugi kepada tertanggung untuk menuntut pihak lain yang mengakibatkan kepentingan asuransinya mengalami suatu peristiwa kerugian.
6.    Contribution
Bahwa penanggung berhak mengajak penanggung-penanggung yang lain yang memiliki kepentingan yang sama untuk ikut bersama membayar ganti rugi kepada seorang tertanggung meskipun jumlah tanggungan masing-masing belum tentu sama besar.

2.7     Hukum Asuransi Menurut Pandangan Islam
Para ulama membagi asuransi ke dalam asuransi atas individu dan asuransi atas benda. Kadang ada bentuk asuransi yang lain yang disebut dengan asuransi pertangunggjawaban, dan hal ini dengan sendirinya masalah fizh. Asuransi atas benda adalah seperti asuransi atas kendaraan, asuransi atas barang dagangan, asuransi atas barang berharga, asuransi kebakaran, dan sebagainya. Apabila jangka waktu asuransi ini tertentu maka tidak masalah. Demikian pula dalam sebagian asuransi atas individu, seperti asuransi jiwa, asuransi kesehatan dengan terbatasnya jangka waktu adalah tidak masalah.
Di kalangan ulama dan cendekiwan muslim ada 4 (empat) pendapat tentang hukum asuransi, yakni :
Pertama    : mengharamkan asuransi dalam segala macam dan bentuknya sekarang ini, termasuk asuransi jiwa
Kedua      : membolehkan semua asuransi dalam prakteknya sekarang ini
Ketiga      : membolehkan asuransi yang bersifat sosial dan mengharamkan asuransi yang semata-mata bersifat komersial
Keempat  : menganggap asuransi syubhat
Pendapat pertama (yang mengharamkan) didukung antara lain oleh Sayid Sabiq, Abdullah al-Qalqili, Muhammad Yusuf al-Qarsdhawi, dan Muhammad Bakhit al-Muth’i. Alasan – alasan mereka yang mengharamkan asuransi adalah sebagai berikut :
1.  Asuransi pada hakekatnya sama dengan judi
2.  Mengandung unsur tidak jelas dan tidak pasti
3.  Mengandung unsur riba
4.  Mengandung unsur eksploitasi, karena pemegang surat perjanjian (polis) kalau tidak bisa melanjutkan pembayaran preminya, bisa hilang atau dikurangi uang premi yang telah dibayarkan
5.  Premi-premi yang telah dibayarkan oleh para pemegang polis diputar dalam kredit berbunga (praktek riba)
6.  Asuransi termasuk akad sharfi, artinya jual beli atau tukar menukar mata uang tidak dengan tunai (cash and carry)
7.  Hidup dan mati manusia dijadikan objek bisnis, yang berarti mendahului takdir Tuhan Yang Maha Esa
Pendapat kedua (yang membolehkan) antara lain Abdul Wahab Khallaf; Mustafa Ahmad Zarqa, Profesor Hukum Islam pada Fakultas Syariah Universitas Syiria; Muhammad Yusuf Musa, Profesor Hukum Islam pada Universitas Cairo Mesir; dan Abdurahman Isa, pengarang Al-Muamalah al-Haditsah wa Ahkamuha. Alasan mereka membolehkan asuransi, termasuk asuransi jiwa, adalah sebagai berikut :
1.  Tidak ada nash Al Quran dan Hadis yang melarang asuransi
2.  Ada kesepekatan atau kerelaan antar kedua belah pihak
3.  Salang menguntungkan kedua belah pihak
4.  Mengandung kepentingan umum (maslhah ‘amah), sebab premi-premi yang terkumpul bisa dinvestasikan untuk proyek-proyek yang produktif dan untk pembangunan
5.  Asuransi termasuk akad mudharabah, artinya akad kerja sama bagi hasil antara pemegang polis (pemilik modal) dengan pihak perusahaan asuransi yang memutar modal atas dasar profit and loss sharing (PLS)
6.  Asuransi termasuk koperasi (syirkah ta’wuniyah)
7.  Diqiyaskan (analogi) dengan sistem pensiun, seperti Taspen.
Muhammad Thantawi mengungkapkan pendapat Abdul Wahab Khallaf dan Muhammad al-Bahi. Abdul Wahab Khallaf mengatakan bahwa transaksi jiwa adalah transaksi yang sah dan bermanfaat, baik bagi nasabahnya, perusahaan maupun masyarakat. Transaksi tersebut merupakan tabungan dan mencerminkan tolong menolong demi kemaslahatan nasabah dan ahli waris jika nasabah tiba – tiba meninggal. Sedangkan syariat hanya mengharamkan sesuatu yang berbahaya dan sesuatu yang bahayanya lebih banyak daripada manfaatnya. Demikian juga Muhammad al-Bahi menyatakan bahwa tidak ada bahaya sedikitpun dalam asuransi. Karena asuransi didirikan berdasarkan solidaritas dan tolong menolong, bagi hasil dan mencari keuntungan, menutup kebutuhan kaum lemah, menghindari kemiskinan, penyediaan lapangan pekerjaan bagi yang tidak mampu serta mempermudah pengusaha kacil.
Pendapat ketiga yang membolehkan asuransi yang bersifat sosial dan mengharamkan asuransi yang bersifat komersial antara lain didukung oleh Muhammad Abu Zahrah, Guru Besar Universitas kairo Mesir. Alasan membolehkan asuransi yang bersifat sosial pada garis besarnya sama dengan alasan pendapat yang kedua. Sedangkan alasan mengharamkan asuransi yang bersifat komersial pada garis besarnya sama dengan pendapat yang pertama.
Muhammad Abu Zahrah sebagaimana yang dikutip oleh Muhammad Thantawi menyimpulkan bahwa dalam aliran-aliran islam yang ada, transaksi yang serupa dengan asuransi tidak diperbolehkan, apapun bentukya. Kaidah hukum yang menyatakan : ﺍﻷﺻﻞ ﻓﻰ ﺍﻟﻌﻘﻮﺩ ﺍﻹ ﺑﺎﺣﺔ (asal dalam trasanksi-transaksi adalah mubah), tidak cukup untuk memperbolehkan asuransi, karena mengandung unsur-unsur penipuan, spekulasi, dan tidak mempunyai landasan hukum, serta tidak ada kebiasaan yang membolehkan transaksi seperti ini.
Sedangkan pendapat keempat yang menganggap asuransi syubhat, beralasan karena tidak ada dalil–dalil syar’i yang secara jelas mengharamkan ataupun menghalalkan asuransi. Dan apabila hukum asuransi dikategorikan syubhat, maka konsekuensinya adalah kita dituntut bersikap hati-hati menghadapi asuransi dan kita baru diperbolehkan mengambil asuransi, apabila kita dalam keadaan darurat (emergency) atau hajat/kebutuhan (necessity).
Yusuf Qardhawi sebagaimana dijelaskan Ajat Sudrajat, bahwa dalam bentuk asuransi jiwa sangat jauh sekali dari watak perdagangan dan solidaritas berserikat, bahkan lebih lanjut menurutnya asuransi jiwa merupakan akad perjanjian yang fasid, walaupun antara kedua belah pihak saling mengetahui, namun kemnafaatannya tidak berbobot. Keadaan dalam asuransi ini tidak bisa dianggap sebagai alasan halalnya perbuatan tersebut, karena muamalah ini tidak menegakkan prinsip-prinsip keadilan dengan tegas yang tidak dicampuri dengan kezaliman dan penipuan serta perampasan oleh salah satu pihak terhadap pihak lain, sedang keadilan dan tidak saling membahayakan adalah pokok.

2.8     Pengaturan Perasuransian di Indonesia
Berikut merupakan peraturan perundangan yang digunakan sebagai dasar acuan pembinaan dan pengawasan atas usaha perasuransian di Indonesia saat ini :
1.  UU no.2 tahun 1992 tentang usaha perasuransian
2.  PP no.73 tahun 1002 tentang usaha perasuransian
3.  Keputusan menteri keuangan, antara lain:
a.    Nomor 223/KMK.017/1993 tanggal 26 Februari 1993 tentang Perizinan Perusahaan Asuransi dan Reasuransi
b.    No.224/KNE.017/1993 tanggal 26 Februari 1993 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Reasuransi
c.    No.225/KMK.017/1993 tanggal 26 Februari 1993 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asurasni dan Reasuransi
d.    No.226/CMK.017/1993 tanggal 26 Februari 1993 tentang Perizinan dan Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi

2.9     Perizinan Pendirian Perusahaan Asuransi
Pemberian izin oleh Menteri Keuangan bagi perusahaan perasuransian menurut PP Nomor 73 Tahun 1992 dilakukan dalam dua tahap, yaitu:
1.    Persetujuan Prinsip
Adalah persetujuan yang diberikan untuk melakukan persiapan pendirian suatu perusahaan yang bergerak di bidang perasuransian, dimana batas waktu persetujuan prinsip dibatasi selama-lamanya satu tahun.
2.    Izin usaha
Adalah izin yang diberikan untuk melakukan usaha setelah perisiapan pendirian selesai, dimana izin usaha diberikan setelah persyaratan izin usaha telah dipenuhi.















Tidak ada komentar:

Posting Komentar