PAJAK
PENGHASILAN UMUM
Pendahuluan
Undang-undang
No. 7 tahun tentang Pajak Penghasilan (PPh) berlaku sejak 1 Januari 1984.
Undang-undang ini telah beberapa kali mengalami perubahan dan terakhir kali
diubah dengan undang-undang nomor 36 tahun 2008.
Undang-undang
Pajak Penghasilan (PPh) mengatur pengenaan Pajah Penghasilan terhadap subjek
pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam tahun
pajak. Subjek pajak tersebut dikenai pajak apabila menerima atau memperoleh
penghasilan. Subjek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan, dalam
Undang-undang PPh disebut Wajib Pajak. Wajib pajak dikenai pajak atas
penghasilan yang diterima atau diperolehnya selama satu tahun pajak atau dapat
pula dikenai pajak untuk penghasilan dalam bagian tahun pajak apabila kewajiban
pajaknya subjeknya dimulai atau berakhir pada tahun pajak.
Undang-undang
PPh menganut asas materiil, artinya
penentuan mengenai pajak yang terutang tidak tergantung kepada surat ketetapan
pajak.
Subjek
Pajak dan Wajib Pajak
Pajak
penghasilan dikenakan terhadap Subjek Pajak atas penghasilan yang diterima atau
diperolehnya dalam tahun pajak. Yang menjadi subjek pajak adalah :
1. a)
orang pribadi,
b) warisan
yang belum terbagi sebagai suatu kesatuan menggantikan yang berhak,
2. badan,
terdiri atas perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya,
BUMN/BUMD dengan nama dan bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun,
persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi social politik,
atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak
investasi kolektif,
3. Bentuk
Usaha Tetap (BUT).
Subjek pajak dapat dibedakan menjadi :
1. Subjek
Pajak dalam negeri yang terdiri dari :
a. Subjek
pajak orang pribadi, yaitu :
·
Orang pribadi yang bertempat tinggal
atau berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari
(tidak harus berturut-turut) dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau
·
Orang pribadi yang dalam suatu tahun
pajak berada di Indonesia dan mempunyai nilai bertempat tinggal di Indonesia.
b. Subjek
pajak badan, yaitu :
Badan yang didirikan
atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan
pemerintahan yang memenuhi criteria :
1) Pembentukkannya
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan,
2) Pembiayaannya
bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah,
3) Penerimaannya
dimasukkan dalam anggaran pemerintahan pusat atau pemerintah daerah, dan
4) Pembukuannya
diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional Negara.
c. Subjek
pajak warisan, yaitu :
Warisan yang belum
dibagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak.
2. Subjek
pajak luar negeri yang terdiri dari :
a. Orang
pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka
waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui
bentuk usaha tetap di Indonesia, dan
b. Orang
pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di
Indonesia dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua
belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh panghasilan dari Indonesia tidak
dari menjalakan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di
Indonesia.
Subjek pajak orang
pribadi dalam negeri menjadi Wajib Pajak apabila telah menerima atau memperoleh
penghasilan yang besarnya melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak. Subjek pajak
badan dalam negeri menjadi wajib pajak sejak saat didirikan, atau bertempat
kedudukan di Indonesia. Subjek pajak luar negeri baik orang pribadi maupun
badan sekaligus menjadi wajib pajak karena menerima dan/atau memperoleh
penghasilan yang bersumber dari Indonesia atau yang melalui bentuk usaha tetap
di Indonesia. Dengan perkataan lain, wajib pajak adalah orang pribadi atau
badan yang yang telah memenuhi kewajiban subjektif dan objektif.
Perbedaan wajib pajak
dalam dalam negeri dan wajib pajak luar negeri, antara lain adalah :
Wajib Pajak dalam negeri
|
Wajib Pajak luar negeri
|
·
Dikenakan pajak atas penghasilan baik yang
diterima atau diperoleh dari Indonesia dan dari luar indonesia.
·
Dikenakan pajak berdasarkan penghasilan netto.
·
Tarif pajak yang digunakan adalah tarif umum
(tariff UU PPh pasal 17)
·
Wajib menyampaikan SPT
|
·
Dikenakan pajak hanya atas penghasilan yang
berasal dari sumber penghasilan di Indonesia
·
Dikenakan pajak berdasarkan penghasilan bruto
·
Tarif pajak yang digunakan adalah tarif sepadan
(tarif UU PPh pasal 26)
·
Tidak wajib menyampaikan SPT.
|
Kewajiban
Pajak Subjektif
Untuk lebih memperjelas
pengertian, kapan mulai dan berakhirnya sebagai subjek pajak dalam negeri
maupun subjek pajak luar negeri, berikut ini diberikan table mulai dan
berakhirnya pajak subjektif.
Kewajiban pajak subjektif
MULAI
|
BERAKHIR
|
Subjektif pajak
dalam negeri orang pribadi:
v Saat dilahirkan
v Saat berada di indonesia atau bertempat tinggal di
indonesia
Subjektif pajak
dalam negeri badan:
v
Saat didirikan
atau bertempat kedudukan di indonesia
|
Subjektif pajak
dalam negeri orang pribadi:
v Saat meninggal
v Saat meninggalkan indonesia untuk selama-lamanya
Subjektif pajak
dalam negeri badan:
v
Saat dibubarkan
atau tidak bertempat kedudukan di indonesia
|
Subjek
pajak luar negeri melalui BUT:
v
Saat menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
melalui BUT di indonesia
|
Subjek
pajak luar negeri melalui BUT:
v Saat
tidak lagi menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di indonesia
|
Subjek pajal luar negeri tidak melalui BUT:
v Saat
menerima atau memperoleh penghasilan dari indonesia
|
Subjek pajal luar negeri tidak melalui BUT:
v Saat
tidak lagi menerima atau memperoleh penghasilan dari indonesia
|
Warisan belum terbagi:
v Saat
timbulnya warisan yang belum terbag
i
|
Warisan belum terbagi:
v Saat
warisan telah selesai dibagikan
|
TIDAK
TERMASUK SUBJEK PAJAK
Yang tidak termasuk
subjek pajak adalah :
1. Kantor
perwakilan Negara asing.
2. Pejabat
perwakilan diplomatik dan konsultan atau pejabat lain dari Negara asing, dan
orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat
tinggal bersama-sama mereka, dengan syarat :
·
Bukan warga Negara Indonesia dan di
Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatannya di
Indonesia.
·
Negara yang bersangkutan memberikan
perlakuan timbal balik.
3.
Organisasiinternasional sebagai mana dimaksud dalam keputusan
menteri keuangan no 661/KMK.04./1994 tanggal 23 Desember 1994 sebagai mana
telah diubah terkhir dengan keputusan Menteri Keuangan nomor 314/KMK.04/1998
tanggal 15 juni 1998, dengan syarat:
·
Indonesia menjadi anggota organisasi
tersebut.
·
Tidak menjalankan usaha atau kegiatan
lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain pemberian pinjaman
kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota.
4.
Pejabat perwakilan organisasi
internasional, sebagai
mana dimaksud dalam keputusan Menteri Keuangan no 611/KMK.04/1994 tanggal 23
Desember 1994 sebagaimana telah diubah dengan keputusan Menteri Keuangan nomor
314/KMK.04/1998 tanggal 15 juni 1998, dengan syarat :
·
Bukan warga Negara Indonesai.
·
Tidak menjalankan usaha, kegiatan, atau
pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan di Indonesia.
OBJEK
PAJAK
Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap
tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang
berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapar dipakai untuk
konsumsi atau utnuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan
nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk :
1.
Pergantian atau imbalan berkenaan dengan
pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah,
tunjangan, honorarium, komisi, bonus, grafitasi, uang pensiun, atau imbalan
dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini;
2.
Hadiah dari undian atau pekerjaan atau
kegiatan, dan penghargaan;
3.
Laba usaha;
4.
Keuntungan karena penjualan atau karena
pengalihan harta termasuk :
a)
Keuntungan karena pengalihan harta
kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau
penyertaan modal;
b)
Keuntungan karena pengalihan harta
kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota yang diperoleh perseroan,
persekutuan, dan badan lainnya;
c)
Keuntungan karena likuidasi,
penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, pegambilalihan usaha, atau
reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apa pun;
d)
Keuntungan karena pengalihan harta
berupa hibah, bantuan, atau sumbangan, kecuali, yang diberikan kepada keluarga
sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan
pendidikan, badan social termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang
menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha,
pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang
bersangkutan; dan
e)
Keuntungan karena penjualan atau
pengalihan sebagai atau seluruh hak penambangan, tanda turut serta dalam
pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan pertambangan.
5. Penerimaan
kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran
tambahan pengembalian pajak;
6. Bunga
termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan penegmbalian utang;
7. Dividen,
dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi
kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
8. Royalty
atau imbalan atas penggunaan hak;
9. Sewa
dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
10. Penerimaan
atau perolehan pembayaran berkala;
11. Keuntungan
karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah;
12. Keuntungan
selisih kurs mata uang asing;
13. Selisih
lebih karena penilaian kembali aktiva;
14. Premi
asuransi;
15. Iuran
yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari
Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
16. Tambahan
kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak;
17. Penghasilan
dari usaha berbasis syariah;
18. Imbalan
bunga sebagaimana dimaksus dalam Undang-undang yang mengatur mengenai ketentuan
umum dan tata cara perpajakan; dan
19. Surplus
Bank Indonesia.
Penghasilan tersebut
dapat dikelompokan menjadi:
1. Penghasilan
dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas, seperti gaji,
honorarium, penghasilan dari praktik dokter, notaries, aktuaris, akuntan,
pengacara, dan sebagainya.
2. Penghasilan
dari usaha atau kegiatan.
3. Penghasilan
dari modal atau penggunaan harta, seperti sewa, bunga, dividen, royalty,
keuntungan dari penjualan harta yang tidak digunakan, dan sebagainya.
4. Penghasilan
lain-lain, yaitu penghasilan yang tidak dapat diklasifikasikan ke dalam salah
satu dari tiga kelompok penghasilan di atas, seperti:
a) Keuntungan
karena pembebanan utang.
b) Keuntungan
karena selisih kurs mata uang asing.
c) Selisih
lebih karena penilaian kembali aktiva.
d) Hadiah
undian.
Bagi
Wajib Pajak Dalam Negeri, yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan baik yang
berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia. Sedangkan bagi Wajib Pajak Luar
Negeri, yang menjadi Objek Pajak hanya penghasilan yang berasal dari Indonesia
saja.
Tidak termasuk objek
pajak
1. a. Bantuan
atau sumbangan
b. Harta
hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dan instansi lainnya seperti: badan
pendidikan, badan sosial,koperasi dll
2. Warisan
3. Harta
termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham.
4. Penggaian
atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh
dalam bentuk natura dan atau kenikmatan dari wajib pajak atau pemerintah
5. Pembayaran dari perusahaan asuransi
kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan,
asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa
6.
Dividen atau pembagian laba yang
diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai wajib pajak dalam negeri,
koperasi, BUMN, atau BUMD, dari penyertaan modal pada badan usaha yang
didirikan dan bertempat
kedudukan di Indonesia dengan syarat :
• Dividen berasal
dari cadangan laba yang ditahan.
•
Bagi perseoan terbatas, BUMN dan BUMD yang menerima dividen paling rendah 25%
Dari jumlah modal
yang disetor dan harus mempunyai usaha aktif diluar kepemilikan
Saham tersebut
7. Iuran yang
diterima atau dana pensiun
8. Penghasilan
dari modal yang telah ditanamkan oleh dana pensiun
9. Bagian laba
yang diterima
10. Penghasilan
yang diterima perusahaan modal berupa laba
11. Beasiswa
12. Laba lebih
yang diterima atau lembaga nirlaba bidang pendidikan
13. Bantuan
atau santunan
DASAR PENGENAAN PAJAK DAN CARA MENGHITUNG PENGHASILAN KENA PAJAK
Dasar pengenaan Pajak
Untuk wajib pajak dalam negeri dan
untuk usaha tetap ( BUT ) yang menjadi dasar pengenaan pajak adalah penghasilan
kena pajak. Sedangkan untuk wajib pajak luar negeri adalah penghasilan bruto.
Yang perlu diingat besarnya
penghasilan kena pajak untuk wajib pajak
pada badan dihitung sebesar penghasilan netto
Penghasilan kena pajak (WP badan )
= penghasilan netto
|
Sedangkan untuk wajib pajak orang
pribadi dihitung dari pengfhasilan netto – PTKP
Penghasilan kena pajak (WP orang pribadi ) = penghasilan netto- PTKP
|
Cara menghitung penghasilan kena
pajak
Penghitungan besarnya penghasilan
netto bagi wajib pajak didalam negeri dan badan usaha tetap dapat dilakukan
dengan dua cara:
1. Menggunakan
pembukuan
2. Menggunakan
norma penghitungan penghasilan netto
Menghitung penghasilan kena pajak
dengan menggunakan pembukuan, Pembukuan adalah
suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data
dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan, dan
biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang
ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi
pada setiap tahun pajak berakhirembukuan
Untuk WP badan besar penghasilan
kena pajak = penghasilan netto yaitu penghasilan bruto dikurangi PPH .
Penaghasilan Kena pajak ( WP badan)
= Penghasilan Netto
= Penghasilan Bruto – biaya yang diperkenankan UU PPh-PTKP
|
Untuk WP Orang Pribadi besar penghasilan kena pajak sama dengan
penghasilan netto dikurangi dengan PTKP
Penaghasilan Kena pajak ( WP orang pribadi)
= Penghasilan Netto-PTKP
= Penghasilan Bruto – biaya yang diperkenankan UU PPh
|
Besarnya penghasilan kena pajak
bagi wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap ditentukan dari
penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan , menagih , dan memelihara
penghasilan termasuk:
1. Biaya
secara langsung dan tidak langsung
2. Penyusutan
atas pengeluaran
3. Iuran
kepada dana pensiun yang telah didahkan oleh menteri keuangan
4. Kerugian
karna penjualan
5. Kerugian
selisih kurs mata uang asing
6. Biaya
penelitian pengembangan perusahaan yang dilakukan di indonesia
7. Biaya
beasiswa,magang, pelatihan
8. Piutang
yang nyata
9. Sumbangan
dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang sudah diatur dengan peraturan
pemerintah
10. Sumbangan
dalam rangka penelitian dan pengembangan
11. Biaya
pembangunan insprastruktur sosial
12. Sumbangan
fasilitas pendidikan
13. Sumbangan
dalam rangka pembinaan olahraga
14. Kompensasi
kerugian fiskal tahun sebelumnya( min 5 th)
Untuk menentukan besarnya
penghasilan kena pajak bagi wajib pajak dalam negeri dan usaha tetap tidak
boleh dikurangkan:
1. Pembagian
laba
2. Biaya yang
dibebankan untuk kepentingan pribadi
3. Pembentukan
atau pemupukan dana cabang kecuali
a. Cadangan
piutang
b. Cadangan
untuk usaha asuransi
c. Cadangan
penjaminan
d. Cadangan
biaya reklamasi untuk usaha pertambangan
e. Cadangan
biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan
f.
Cadangan biaya penutypan dan pemeliharaan tempat
4. Premi
asuransi kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja
5. Penggantian
atau imbalan
6. Jumlah yang
melebihi kewajaran sebagai imbalan yang dibayarkan kepada pihak yang mempunyai
hubungan istimewa.
7. Harta yang
dihibahkan
8. Pajak
penghasilan
9. Biaya yang
dibebankan
10. Gaji
11. Sanksi
administrasi
12. Biaya
pengeluaran yang dikenakan PPH yang bersifat final dan bukan objek PPH
13. Biaya-biaya
pengeluaran yang digunakan penghitungan penghasilan netto
Menghitung penghasilan kena pajak
dengan menggunakan norma penghitungan penghasilan Netto
Untuk menghitung penghasilan kena
pajak maka wajib pajak menggunakan norma penghitungan penghasilan netto.
Dimana penghasilan netto adalah
besar penghasilan netto sama dengan besarnya (persentase) NPPN
Untuk Menghitung menentukan
penghasilan netto perlu disempurnakan secara terus menerus dan di terbikan oleh
direktur jendral pajak yang di tentukan mentri keuangan
Wajib pajak yang boleh menggunakan
NPPN adalah WP orang pribadi yang memenuhi syarat sebagai berikut:
1. Predaran
bruto kurang dari Rp.4.800.000.000,00 Per tahun
2. Mengajukan
permohonan dalam jangka waktu tiga bulan pertama dari tahun buku
3. Menyelenggarakan
pencatatan
Contoh penghitungan pajak yang
terutang (NPPN)
Diket: anto menikah ( istri tidak
bekerja) dan memiliki 3 orang anak, anto seorang dokter bertempat tinggal
dijakarta ia memiliki industri rotan. Misalnya besar presentase norma untuk
industri rotan dicirebon 12,5% , dan dokter jakarta 45%.
Peredaran usaha dari industri rotan
dicirebon setahun Rp.400.000.000 , penerimaan seorang dokter dijakarta setahun
Rp. 100.000.000, hitunglah penghasilan netto?
Jawaban:
Dari industri rotan: 12,5% x Rp.400.000.000 Rp. 50.000.000
Sebagai seorang dokter: 45% x Rp. 100.000.000 RP. 45.000.000
Jumlah penghasilan netto
RP. 95.000.000
PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAK Rp.
21.120.000
Penghasilan kena pajak Rp.
73.880.000
|
PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAK (PTKP)
Besarnya PTKP setahun yang berlaku saat ini
adalah ;
1. Rp.15.840.000,00
untuk wajib pajak orang pri badi
2. Rp.1.320.000,00
tambahan untuk wajib pajak yang kawin
3. Rp.15.840.000,00
tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya di gabung dengan penghasilan
suami, dengan syarat
·
Penghasilan istri tidak semata-mata di terima atau
diperoleh dari satu pemberi kerja yang telah di potong pajak berdasarkan ketentuan
dalam UU PPh pasal 21, dan
·
Pekertjaan istri tidak ada hubungan dengan usah atau
pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga lainnya
4. Rp
1.320.000,00 tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga
semenda dalam garis keturunan lurus
serta anak angkat menjadi tanggungan sepenuhnya (maksimal 3 orang )
TARIF PAJAK
Wajib pajak orang pribadi dalam
negri
1. Tarif pajak
yang diterapkan atas penghasilan kena pajak bagi wajip pajak orang pribadi
dalam negri adalah sebagai berikut
Lapisan penghasilan kena pajak
|
Tarif pajak
|
Sampai dengan Rp.50.0000.000,00
|
5 %
|
Di atas Rp 50.0000.000,00 sampai dengan Rp 250.0000.000,00
|
15%
|
Diatas 250.0000.000,00 sampai dengan Rp. 500.0000.000,00
|
25 %
|
Diatas Rp. 500.0000.000,00
|
30%
|
2. Wajib pajak
badan usaha dalam negri dan bentuk usaha tetap
a. Sedangkan
tarif pajak yang di terapkan untuk
penghasilan kena pajak untuk
wajib pajak badan dalam negri dan bentuk usaha tetap Adalah sebesar 28 % .
b. Sedangkan
tarif pajak yang di terapkan untuk
penghasilan kena pajak untuk
wajib pajak badan dalam negri mulai berlaku sejak tahun pajak 2010 diturunkan
menjadi 25 %
c. Wajib pajak
badan dalam negri berbentuk perseroan terbuka yang paling sedikit 40 % dari
jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan di bursa efek di indonesia
dan memenuhi persyaratan tertentu lainnya memperoleh tarif sebesar 5 %
d. Wajib pajak
badan dalam negri dengan peredarfan bruto sampai dengan Rp.50.0000.000,00
mendapat fasilitas pengurangan tarif 50
% yang dikenakan atas penghasilan kenapajak dari bagian peredaran bruto sampai
dengan Rp.4.800.000.000,00.
Cara menghitung pajak
Rumus menghitung wajib pajak badan
Pajak
penghasilan ( wajib pajak badan)
=
penghasilan kena pajak x tarif pasal 17
=
penghasilan netto x tarif pasal 17
=
(penghasilan bruto – biaya yang diperkenankan UU pph) x tarif pasal 17
|
Rumus menghitung wp orang pribadi
Pajak
penghasilan ( WP orang pribadi)
=
penghasilan kena pajak x tarif pasal 17
=
penghasilan netto – PTKP ) x tarif pasal 17
= (penghasilan
bruto – biaya yang diperkenankan UU pph) -PTKP x tarif pasal 17
|
Catatan:
untuk keperluan menghitung PPh yangn terutang pada akhir tahun, penghasilan
kena pajak dibulatkan kebawah hingga ribuan penuh.
Contoh:
Gunawan pada tahun 2010 mempunyai
PKP sebesar Rp.241.850.600,00 besarnya pajak penghasilan yang harus dibayar
atau terutang oleh gunawan adalah:
Penghasilan
kena pajak
Rp.241.850.600,00
(dibulatkan
kebawah hingga ribuan penuh)
Pajak
penghasilan yang harus dibayar : Rp.2.500.000,00
5% x Rp. 50.000.000,00Rp.28.777.500,00
15% x Rp.
191.850.000,00
Rp. 31.277.500,00
PEMOTONGAN ATAU PEMUNGUTAN PAJAK PENGHASILAN YANG BERSIFAT FINAL
Pemotongan atau pemungutan PPh
tetap dilaporkan dalam surat pemberitahuan ( SPT ), hanya saja jumlahnya tidak
dijumlahkan dengan penghasilan lainnya.
CARA MELUNASI PAJAK
Cara melunasi pajak ada 2 cara:
1. Pelunasan
pajak tahun berjalan,yaitu pelunasan pajak dalam masa pajak yang meliputi:
a. Pembayaran
sendiri oleh WP ( PPh pasal 25 ) untuk setiap masa pajak.
b. Pembayaran
pajak melalui pemotongan / pemungutan pihak ketiga berupa kredit pajak yang
dapat diperhitungkan dengan jumlah pajak yang terutang selama tahun pajak,
yaitu:
1) Pemotongan
PPh atas penghasilan dari pekerjaan, jasa, atau kegiatan (PPh pasal 21)
2) Pemungutan
PPh atas penghasilan dari kegiatan di bidang impor atau lainnya(PPh pasal 22)
3) Pemotongan
PPh atas penghasilan dari modal atau penggunaan dharta oleh orang lain,jasa,
hadiah , dan penghargaan ( PPh pasal 23)
4) Pelunasan
PPh di luar negeri atas penghasilan di luar negeri ( PPh pasal 24)
5) Pemotongan
PPh atas penghasilan yang terutang atas WP luar negeri ( PPh pasal 26)
6)
Pemotongan atas penghasilan berupa bunga deposito dan
tabungan-tabungan lainnya, penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas
lainnya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah atau
bangunan serta penghasilan tertentu lainnya(PPh pasal 4 ayat (2) untuk PPh 4 ayat (2)ntidak dapat dikredit.
2. Pelunasan
pajak sesudah akhir tahun.
pelunasan
pajak sesudah tahun pajak berakhir dilakukan dengan cara:
a. Menbayar
pajak yang kurang disetor yaitu dengan menghitung sendiri jumlah pajak
penghasilan terutang untuk suatu tahun pajak dikurangi dengan jumlah kredit
pajak tahun yang bersangkutan.
b. Membayar
pajak yang kurang disetor berdasarkan surat ketetapan pajak atau surat tagihan
pajak yang ditetapkan oleh direktur jenderal pajak, apabila terdapat bukti
bahwa jumlah pajak penghasilan terutang tidak benar
(kesimpulan) Maksud baik
pemerintah untuk mendorong peningkatan daya beli masyarakat pekerja melalui
program stimulus fiskal berupa Pajak Penghasilan Pasal 21 ditanggung oleh
pemerintah (PPh Pasal 21 DTP) sepertinya belum ditanggapi sebagaimana yang
diharapkan. Dalam beberapa kesempatan, Dirjen Pajak menyatakan realisasi PPh
Pasal 21 DTP yang telah diberikan kepada pekerja masih jauh dari anggaran dalam
APBN 2009 sebesar Rp.6,5 triliun. Melalui Surat Edaran (SE) Nomor SE-64/PJ/2009
tanggal 7 Juli 2009, Dirjen Pajak menginstruksikan jajarannya untuk melakukan
sosialisasi PPh Pasal 21 DTP kepada serikat pekerja, dinas tenaga kerja maupun
asosiasi perusahaan terkait.
Yang Mendapat Stimulus
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 43/PMK.03/2009, PPh
Pasal 21 DTP diberikan kepada pekerja yang penghasilan brutonya dalam satu
bulan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dan tidak lebih dari
Rp.5.000.000. Pekerja yang mendapat stimulus fiskal ini adalah yang
bekerja pada pemberi kerja tiga kategori usaha tertentu, yaitu pertanian
termasuk perkebunan dan peternakan, perburuan dan kehutanan, dimana didalamnya
terdapat 74 sub sektor usaha, perikanan dengan 19 sub sektor usaha dan industri
pengolahan yang mencakup 370 sub sektor usaha.
Pengertian pekerja, sebagaimana ditegaskan dalam SE-64/PJ/2009, termasuk
pekerja di cabang perusahaan dan pekerja pada perusahaan penyedia tenaga kerja
(outsourcing) yang ditempatkan pada perusahaan pemberi kerja yang berusaha pada
tiga kategori usaha tersebut di atas. Termasuk pula
pekerja pada pemberi kerja yang melakukan pekerjaan pengolahan barang
berdasarkan pesanan (maklon) yang pekerjaan pengolahannya memenuhi kategori
usaha industri pengolahan.
PPh Pasal 21 DTP diberikan mulai
masa pajak Februari 2009 sampai dengan masa pajak November 2009. Sampai dengan
masa pajak Juni 2009, PPh Pasal 21 DTP diberikan kepada seluruh pekerja, baik
yang sudah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) maupun yang belum. Besarnya
PPh Pasal 21 DTP yang diterima pekerja adalah sebesar pajak terutang
berdasarkan tarif umum UU PPh dan tidak termasuk kenaikan tarif pajak 20% lebih
tinggi bagi pekerja yang belum memiliki NPWP.
Hak PekerjaPPh Pasal 21 DTP wajib
dibayarkan secara tunai pada saat pembayaran penghasilan oleh pemberi kerja
kepada pekerja sebesar PPh Pasal 21 yang terutang atas penghasilan pekerja.
Sebagai contoh, seorang pegawai yang penghasilan brutonya sebulan Rp.5.000.000,
dengan status menikah dan mempunyai 2 anak serta yang bersangkutan membayar
iuran pensiun Rp.25.000 sebulan, PPh Pasal 21 yang terutang sebulan adalah
sebesar Rp.153.750. Dengan adanya PPh Pasal 21 DTP, PPh Pasal 21 yang terutang
tersebut tidak disetor pemberi kerja ke kas negara, tetapi diberikan kepada
pegawai yang bersangkutan. Penghasilan pegawai akan bertambah sebesar PPh Pasal
21 yang terutang sehingga penghasilan yang diterima adalah Rp.4.975.000
(penghasilan bruto dikurangi iuran pensiun, tanpa ada pengutangan PPh Pasal
21).
Dalam hal pemberi kerja
memberikan tunjangan PPh Pasal 21 kepada pekerja atau menanggung PPh Pasal 21
yang terutang atas penghasilan pekerja, PPh Pasal 21 yang dirunjang atau
ditanggung tersebut tetap harus diberikan kepada pekerja yang mendapat PPh
Pasal 21 DTP. Dengan menggunakan contoh tersebut di alas, apabila selama ini
PPh Pasal 21 ditanggung perusahaan maka dengan adanya PPh Pasal 21 DTP
penghasilan yang diterima pegawai menjadi sebeur Rp.5.128.750 (penghasilan
bruto dikurangi iurang pensiun ditambah PPh Pasal 21 yang terutang).
PPh Pasal 21 DTP, berapapun jumlahnya,
adalah hak pekerja yang pemenuhannya dilaksanakan oleh perusahaan sebagai
pemberi kerja. Dengan mekanisme pembayaran seperti ini, mestinya pekerja akan
menuntut haknya kepada pemberi kerja jilca selama ini penghasilannya tidak
ditambah dengan PPh Pasal 21 DTP Apabila selama ini pekerja tidak
mempermasalahkan haknya, salah satu sebabnya mungkin adalah karena
ketidaktahuan adanya stimulus fiskal ini. Pada sisi lain, pekerja juga harus
diberikan pengertian bahwa penambahan penghasilan ini terbatas jangka waktunya,
yaitu hanya dari masa pajak Februari sampai dengan November 2009, sehingga
mulai masa pajak Desember 2009 dan seterusnya tidak akan
ada lagi tambahan penghasilan dari PPh Pasal 21 DTP (Didik Budi Waluyo,
Konsultan Pajak DBW Tax Consulting Penyelenggata Training Perpajakan, Koran
Tempo Rabu 2 September 2009)
Terimakasih blognya sasngat membantu sekali..
BalasHapusTerimakasih atas informasinya,
BalasHapusBelajar akuntansi dan Perpajakan ?
Kunjungi : catatanilmupenaku.blogspot.com
terimaksihh materi ini sangat membantu sekali bagi saya, terus berkarya dan jangan pernah berhenti
BalasHapus